Jumat 23 May 2014 13:45 WIB

Prof Dr KH Ali Mustafa Ya’qub: Perlu Reorientasi Shalat Berjamaah

Red:

olah:Hanan Putra--Setiap orang menyadari, pahala shalat berjamaah di masjid 27 kali lipat daripada shalat sendirian. Pahala 27 derajat tersebut sudah pasti didapatkan, sementara pahala shalat sendirian belum pasti adanya. Orang yang cerdas, tentu akan memilih yang 27 kali lipat tersebut.

Namun, realitasnya masjid-masjid tetap sepi dari mereka yang menunaikan shalat berjamaah. Beberapa mushalla bahkan ada yang tutup ketika shalat Zhuhur dan Ashar. Apa yang sebenarnya salah dari umat ini?

Menurut Imam Besar Masjid Istiqlal KH Ali Musafa Ya'qub, perlu ada reorientasi ibadah dalam shalat berjamaah. Umat perlu diingatkan apa sebenarnya yang mereka cari ketika menunaikan shalat. Berikut petikan wawancara selengkapnya bersama wartawan Republika Hannan Putra.

Bagaimana kondisi masjid-masjid di Indonesia?

Secara umum, saya termasuk yang prihatin. Sebab, di Indonesia ini orang berlomba-lomba gede-gedean masjid, kemudian berlomba-lomba pula kosong-kosongan masjid. Jadi, itu yang memprihatinkan.

Apa penyebab umat jauh dari masjid?

Saya tidak tahu persis. Misalkan, tentang shalat berjamaah. Itu hampir menggejala, orang Indonesia tidak menyukai shalat berjamaah. Saya sudah amati di mana-mana. Tidak ada rasa penyesalan kalau dia tidak shalat berjamaah.

Padahal, sebenarnya shalat berjamaah dengan shalat sendirian itu kan pekerjaannya sama. Misalkan, shalat Zhuhur atau Isya itu kan sama-sama empat rakaat, baik sendiri-sendiri ataupun berjamaah.

Namun, kalau berjamaah sudah pasti mendapatkan pahala 27. Itu pasti, meskipun jelek shalatnya. Kalau sendirian belum pasti mendapatkan satu. Mengapa belum pasti? Karena yang diterima itu yang baik saja. Kalau yang tidak baik, ya tidak diterima.

Namun, orang Indonesia itu lebih senang shalat sendirian daripada berjamaah, umumnya begitu. Tidak ada rasa penyesalan kalau shalat tidak berjamaah. Padahal, kehilangan 27 dan belum pasti mendapatkan satu, itu mestinya ada rasa penyesalan. Tapi, ternyata tidak ada.

Kadang, saya bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang ngajarin mereka begitu. Saya pernah dulu waktu mau shalat Zhuhur berjamaah di kawasan Tebet. Waktu sampai di sana, saya sudah ketinggalan. Akhirnya, saya menunggu orang yang mau datang. Jadi, ada seorang abang yang datang. "Assalamualaikum, Bang. Abang belum sembahyang Zhuhur ya?"

"Belum," jawabnya.

"Ayo kita shalat berjamaah."

Kemudian dia bilang, "Ayo Bapak dulu, silakan dimulai, saya mau wudhu dulu. Akhirnya, saya mulai. Bacaan saya panjang-panjangkan. Saya pikir, setelah wudhu dia akan menjadi makmum saya. Ternyata, saya tunggu-tunggu sampai saya salam dia gak jadi makmum saya. Ternyata, dia shalat di pojokan sana. Jadi saya bertanya, mengapa dia seperti itu? Siapa sih yang ngajarin orang Indonesia sampai tidak suka berjamaah. Inilah yang menyebabkan banyak masjid kosong.

Seberapa jauh peran ulama mengajak umat untuk kembali ke masjid?

Dulu, di Masjid Istiqlal itu, Pak Tarmizi Taher sampai marah-marah. Kok orang-orang para peziarah dan turis yang datang ke Masjid Istiqlal itu tidak mau shalat berjamaah dengan imam di Masjid Istiqlal. Itu sering sekali terjadi.

Saya sampai bagikan selebaran (kepada mereka). Saya sebutkan hadisnya dan macam-macam. Salah satunya hadis yang diriwayatkan Imam Abu Daud ada salah seorang yang bernama Yazid. Rasulullah kan sedang shalat, tapi Yazid ini duduk aja di pinggir masjid. Setelah itu, dipanggil Rasulullah. "Wahai Yazid, mengapa kamu tidak ikut shalat berjamaah. Bukankah kamu orang Islam?"

Nah, kata-kata ini menunjukkan bahwa perilaku Yazid itu bukan perilaku orang Islam. Kok orang shalat berjamaah dia ngobrol dengan temannya. Yazid mengatakan, "Saya sudah shalat di rumah ya Rasulullah." Tapi, Rasulullah mengatakan, kalau kamu sudah shalat di rumah kemudian ada shalat berjamaah kamu harus ikut shalat berjamaah bersama mereka. Bagimu, itu merupakan sunah."

Di Indonesia, tidak ada perhatian seperti itu. Di Masjid Istiqlal selalu seperti itu. Seperti yang banyak itu waktu shalat Ashar. Itu mereka tidak mau ikut shalat berjamaah. Setelah saya tanya, "Mengapa bapak ibu tidak mau ikut shalat?" Mereka menjawab, "Kami musafir, Pak."

Kok seperti itu, musafir itu tidak ada larangan shalat berjamaah. Menurut mazhab Syafi'i, orang yang shalat qashar tidak boleh bermakmum dengan orang yang tidak qashar, begitu. Bukan maksudnya tidak boleh berjamaah. Bahkan, menurut mazhab Hanbali, orang yang shalat qashar juga boleh bermakmum kepada orang yang shalatnya tidak qashar.

Ada pula yang beralasan, "Pak, kami ini sudah punya imam dari kampung, sudah punya pimpinan. Kami shalat menjadi makmum dia terus. Kalau kami ikut shalat di Masjid Istiqlal dan mengikut imam di sana maka imam dari kampung kami tidak jadi imam lagi."

Jadi, memang perlu ada reorientasi ibadah, khususnya dalam shalat berjamaah. Saya penasaran, di Troid Amerika itu shalat Subuh saja sampai 5.000 orang. Kalau betul informasi seperti itu, tentu itu lebih hebat dari Masjid Istiqlal.

Seberapa penting shalat berjamaah bagi Umat Islam?

Saya sampaikan di mana-mana, Rasulullah tidak pernah shalat fardhu kecuali berjamaah. Kita ini kadang-kadang ibadah itu orientasinya kepada fikih, bukan kepada hadis. Dalam fikih dikatakan shalat berjamaah itu fardhu kifayah. Jadi, cukup dua-tiga orang shalat berjamaah yang lain tidur semua tidak apa-apa.

Tapi, kalau orientasinya kepada hadis, pernahkah Rasulullah SAW shalatnya sendirian? Tidak pernah. Jadi, kembalikan kepada hadis bukan kepada fikih. Kalau kepada fikih, nanti banyak pendapat.

Bagaimana membiasakan umat untuk shalat berjamaah?

Harus ada yang memberikan contoh. Para ustaz dan para pemimpinnya harus memberikan contoh shalat berjamaah di masjid. Kalau ustaznya malas, bagaimana umatnya bisa shalat ke masjid. Dakwah yang paling efektif itu adalah dengan memberikan contoh, bukan sekadar ngomong.

Kemudian, yang harus disadari, kita harus merasa rugi kalau tidak berjamaah. Karena dengan shalat berjamaah kita mendapatkan pahala 27 dan itu pasti, tapi kalau shalat sendirian itu satu dan itu belum pasti. Kalau orang yang cerdas, dia pasti berjamaah. Karena, dia pasti memilih yang 27 ketimbang yang satu, kemudian memilih yang sudah pasti ketimbang yang belum pasti. ed: hafidz muftisany

sumber : http://pusatdata.republika.co.id/detail.asp?id=737621
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement