Advertisement

Sepenggal Kisah Gerobak Roti Tan Ek Tjoan

Senin 29 Oct 2012 11:58 WIB

Red: Miftahul Falah

Cita–cita ekonomi kerakyatan yang tersurat dalam Bab XIV Pasal 33 UUD 1945 ayat (4) mengenai Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial menyebutkan, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Begitu pula Amanat Tap MPR No. II/MPR/2002 tentang Rekomendasi kebijakan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.  

Bangsa Indonesia mempunyai cita–cita agar percepatan ekonomi meningkat, sehingga kesejahteraan dan keadilan sosial dapat tercapai dengan basis demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan). Jauh sebelum UUD 1945 di amandemen keempat kalinya pada tanggal 10 Agustus 2002, serta maraknya industri makanan asing masuk ke Indonesia, seorang WNI peranakan Cina secara sederhana telah mengimplementasikan apa yang dinamakan ekonomi kerakyatan dalam sepotong roti. Pernyataan yang menggelitik penulis.

Berikut cerita singkat yang penulis dapatkan dalam mengikuti Normal is Boring Culinary Tour (Part 1) hari Sabtu, 13 Oktober 2012 bersama Love Our Heritage (LOH), sebuah komunitas yang mempunyai kepedulian dalam bidang pelestarian seni, budaya dan sejarah Indonesia.

Pintu gerbang pabrik yang terletak di Jalan Cikini Raya No. 61 Jakarta Pusat dibuka pada jam 8 pagi. Satu per satu terlihat para pedagang keluar gerbang, mengayuh gerobak dorong berisi roti–roti hasil produksi Toko Roti Tan Ek Tjoan untuk selanjutnya didistribusikan kepada konsumen. Pemandangan seperti ini berlangsung sejak tahun 1953. 

Tour ke dalam pabrik seluas 2300 m² dipandu oleh Mas Adjie Hadipriawan dan Mbak Ira Lathief, penulis buku Normal is Boring, sedangkan dari Toko Roti Tan Ek Tjoan diwakili Bapak Kenny Tamara (Direktur Keuangan) dan Bapak Deden (Bagian Operasional). 

Pukul 09. 30 WIB, 20 peserta Culinary Tour, 6 pengurus inti LOH dan 2 reporter dari salah satu stasiun TV swasta masuk ke dalam pabrik Toko Roti Tan Ek Tjoan. Ruangan pertama yang dikunjungi berisi deretan meja panjang alumunium berukuran kurang lebih lebar 1m² dan panjang 10m².

Di ruangan ini, Pak Kenny menceritakan singkat sejarah berdirinya Toko Roti Tan Ek Tjoan. Toko roti yang masih bertahan sampai generasi ke-3 ini, awalnya dibangun pada tahun 1921 di Bogor oleh seorang pemuda bernama Tan Ek Tjoan.

Sejarah berdirinya toko roti Tan Ek Tjoan

Tan Ek Tjoan turut berperan dalam gerakan pembauran (asimilasi). Pada zaman itu, di Jakarta bermunculan kluster perumahan warga, keturunan cina tinggal di daerah Pecinan-Glodok, keturunan Arab di daerah Pekojan. Sementara, orang Belanda tinggal di daerah Cikini yang di sekitarnya juga terdapat warga pribumi.

Ada kesenjangan sosial antara warga Belanda yang kaya dengan warga pribumi yang miskin. Melihat kondisi demikian, Tan Ek Tjoan berinisiatif merangkul warga pribumi dengan menjadi pedagang roti hasil produksinya.

Roti-roti tersebut pun dijual kepada orang–orang Belanda yang berada di sekitar Cikini, sampai akhirnya meluas ke daerah–daerah lain. Dari sisi ekonomis, Tan Ek Tjoan berhasil membuat konsep bisnis. Warga Belanda di seputar Cikini bisa menikmati roti sebagai makanan pokok sehari–hari dan warga pribumi mendapat penghasilan dari keuntungan menjual roti.  

Prinsip kebersamaan, berkeadilan, keseimbangan dalam ekonomi kerakyatan secara sederhana dan nyata sudah diaplikasikan dalam kehidupan bisnis Tan Ek Tjoan. Melalui roti, sentimen primordialisme antar etnis menjadi berkurang. Dalam kehidupan pribadi, Tan Ek Tjoan pun mendapat istri warga Negara Belanda. 

Pedagang gerobak merupakan ujung tombak perusahaan. Sampai saat ini, ada sekitar 100 pedagang gerobak yang beroperasi ke wilayah seputar Jakarta sampai daerah pinggiran di Ciputat, Tangerang, Cinere, Bekasi.  

Pak Kenny juga memberi kesempatan untuk bekerjasama dengan organisasi seperti Karang Taruna. Pemuda–pemuda yang belum mempunyai pekerjaan dapat bergabung untuk menjadi pedagang gerobak. Dengan demikian, Toko Roti Tan Ek Tjoan turut berperan  membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil. 

Sebagai seorang keturunan Cina, Tan Ek Tjoan tidak lupa memakai filosofi Yin–Yang. Konsep ini digunakan untuk mendeskripsikan sifat kekuatan yang saling berhubungan dan berlawanan di dunia ini dan bagaimana mereka saling membangun satu sama lain.

Roti Gambang yang keras melambangkan unsur “Yin“, Roti Bimbam yang lembut melambangkan unsur “Yang“. Perpaduan tersebut serasi dipakai sebagai teman minum teh atau kopi. Selain Gambang dan Bimbam, roti hasil produksi Tan Ek Tjoan yang terkenal lainnya adalah roti Nougat dan Jagorawi. Pembauran tetap dilanjutkan oleh generasi ke-3 dalam kemasan roti Bimbam yang berbunyi “American Sandwich - From the oldest and modernist bakery in town".

Proses produksi roti

Pak Deden membawa kami dari satu ruangan ke ruangan lainnya yang terbagi dalam 5 (lima) area, menjelaskan kepada peserta tur seputar proses produksi roti. Jumlah karyawan produksi sekitar 40 orang, beraktivitas mulai pukul 20.00 sampai pukul 08.00.

Roti dibuat berdasarkan jumlah pesanan. Sehingga dalam satu hari, roti yang diproduksi langsung habis dan tidak ada stok roti di dalam pabrik. Kuantitas produksi yang dihasilkan sekitar 9.000 roti/ hari, sebelumnya bisa mencapai 18.000 roti/ hari. Aktivitas pabrik berhenti pada hari Sabtu-Minggu dan dilanjutkan kembali hari Senin sampai Jumat.  

Ruangan pertama adalah tempat karyawan membentuk adonan menjadi roti manis. Di ruangan ini, peserta tur diberi kesempatan membentuk roti sendiri dari 50 gram adonan yang tersedia. Khusus kebutuhan pasar, adonan 1 buah roti manis adalah seberat 80 gram. Peserta berkreasi menciptakan model roti sesuai keinginan. Ada yang membuat model kepang, bola, bulat, lilit, pastel, bahkan model aneh yang tidak jelas, ternyata susah namun menarik. Tantangan buku Normal is Boring-nya Ira Lathief dapat diterapkan di sini.

Ada satu pelajaran menarik dari sesi ini yang penulis dapatkan. Menurut Pak Kenny, roti yang bisa dibentuk dengan model bagus adalah adonan roti yang sebelumnya harus dibanting, dipukul biar lentur, digilas, baru kemudian dibentuk. Isi roti tidak boleh terlalu banyak supaya roti  tidak hancur atau pecah, dengan begitu hasil akhirnya menjadi bagus. Begitu juga dengan kehidupan. Kehidupan yang berhasil adalah kehidupan yang memerlukan perjuangan, memerlukan pukulan dan bantingan. Jika kuat menghadapinya, maka hasil akhirnya adalah kemenangan.   

Sementara roti dimasukkan ke dalam oven untuk proses pembakaran, peserta tur dibawa ke ruangan kedua yang berisi 2 mesin pengaduk adonan (mixer) besar merk Kemper; 2 mixer besar model lama, 1 timbangan adonan. Mesin–mesin tersebut buatan Belanda.

Kapasitas 1 mixer cukup menampung 125 kg adonan dasar roti, dengan waktu pengadukan bahan sekitar 30 menit. Proses pengadukan ini akan menghasilkan zat gluten sehingga adonan siap menerima gas CO2 dari aktivitas fermentasi. Pengadukan ditindaklanjuti dengan pemukulan dan penarikan zat gluten, sehingga adonan terlihat mengkilap, tidak lengket dan mengembang pada titik optimum.

Ruangan ketiga adalah ruangan pemisah roti. Adonan roti tawar dipisah dengan roti manis. Di ruangan ini terdapat pula tempat fermentasi roti berbentuk lemari. Kelebihan roti produksi Tan Ek Tjoan yaitu tidak menggunakan bahan pengawet kimia. Pengembangan roti dilakukan dengan ragi (yeast), mendiamkan campuran roti, gula, garam, air selama 12 jam sehingga terbentuk bakteri yang berfungsi mengembangkan roti.

Proses pengembangan adonan merupakan proses yang terjadi antara peningkatan volume akibat bertambahnya gas—gas yang terbentuk, protein larut, lemak dan karbohidrat. Istilah inilah yang dikenal dengan fermentasi. Dengan demikian, roti produksi Toko Roti Tan Ek Tjoan hanya bisa bertahan 3 hari, kecuali roti gambang tahan sampai 10 hari.  

Ruangan keempat berisi oven besar (conveyer). Roti tawar yang sudah dipisahkan dan roti manis yang sudah dibentuk dimasukkan dalam oven, proses pematangan roti manis sekitar 15–20 menit, roti tawar 30–45 menit.

Ruangan kelima adalah ruang finishing, yaitu tempat pemotongan roti tawar berikut pengemasan roti–roti yang sudah dioven. Untuk menjaga kualitas roti, maka kelembaban udara dalam pabrik diatur dalam skala 60–70%. Pabrik juga dilengkapi genset sehingga jika terjadi pemadaman listrik, proses produksi tetap berjalan.

Proses distribusi roti

Roti produksi semalam siap didistribusikan pagi harinya. Setiap gerobak dorong dapat memuat 200 hingga 400 roti manis. Satu orang pedagang biasanya menginvestasikan uang sebesar Rp 400.000 (sistem beli putus) untuk memenuhi gerobaknya. Sebagai ilustrasi, jika untuk 1 roti manis diberi harga pabrik sebesar Rp 4.000 (biaya bahan produksi Rp 3.000, keuntungan pabrik Rp 1.000), pedagang dapat menjualnya sampai harga Rp 7.500. Selisih harga pabrik dan harga jual sebesar Rp 3.500. Jika pedagang berhasil menjual seluruh roti dalam gerobaknya, maka keuntungan yang diperoleh sekitar Rp 700.000 s/d 1.400.000. Satu gerobak bisa habis dalam waktu 3 hari, tergantung bagaimana keterampilan dan rezeki si pedagang.

Gerobak disediakan perusahaan, namun para pedagang harus membayar biaya sewa sebesar Rp 4.000/ hari untuk biaya perawatan. Menurut Pak Deden, kelemahan dari pedagang gerobak adalah jika sudah berhasil mendapatkan keuntungan menjual roti, maka biasanya berhenti dulu sementara waktu. Seandainya konsisten menjual, tentunya keuntungan yang didapat lebih besar lagi.

Jam menunjukkan pukul 11.00 WIB. Kami harus keluar pabrik, foto bersama dan mampir ke ruangan pengembangan produk (diversifikasi). Aneka ragam kue kering seperti kastengels, nastar, dsb dibuat di ruangan ini. Pemandangan unik ketika melihat pekerjanya adalah sepasang opa–oma yang masih cekatan dan semangat menggunakan keahliannya untuk menghasilkan sesuatu.

Pukul 11.15, peserta tur masuk ruangan utama toko roti untuk menikmati roti buatan sendiri yang sudah matang. Hemm.. benar–benar merasakan sensasi nikmatnya roti “Fresh From The Oven“. Serat khas roti produk Tan Ek Tjoan yang berat, mengenyangkan perut kami yang mulai berbunyi dengan badan bermandikan keringat.

Terbayang kenangan kakek-nenek, opa-oma, eyang kakung—putri zaman dahulu menikmati roti ditemani alunan keroncong, lagu perjuangan, bahkan lagu berbahasa Belanda. Segmentasi pelanggan toko roti ini adalah kaum berumur yang sedang bernostalgia. Konsumen luar negeri atau warga Indonesia yang menetap di luar negeri biasanya kembali ke tempat ini, tidak lain tidak bukan untuk mencari roti dengan tagline “setia sepanjang jaman“.

Dari sebuah gudang pabrik, banyak pelajaran berharga yang dapat diperoleh peserta tur.

Dari sepotong roti

Mempelajari aplikasi ekonomi kerakyatan dan asimilasi budaya

Mempelajari arti kesetiaan dan perjuangan

Mempelajari bagaimana etos kerja dan kehidupan

Dari sepotong roti

Ada...

SETIA SEPANJANG JAMAN....... 

Pukul 11.30 WIB kami harus meninggalkan Toko Roti Tan Ek Tjoan, melanjutkan perjalanan Normal Is Boring Tour di sekitar Menteng. Menikmati Sup Buntut Cut Meutia Hj. Nurjanah di Jl. Menteng Kecil No. 1, melewati tempat kuliner di Stasiun Gondangdia, menikmati kopi Phoenam di Jln. K.H. Wahid Hasyim 88, dan terakhir pesta martabak dengan games Make Your Own Martabak di D’Marco Café Jln. Sabang 43A Jakarta Pusat.

Note: 

Love Our Heritage (LOH) adalah sebuah komunitas yang mempunyai kepedulian dalam bidang pelestarian seni, budaya dan sejarah Indonesia. Untuk Informasi selengkapnya, dapat menghubungi Adjie Hadipriawan, Francis Amelia Devina, Rosalina Rita, Ferry Guntoro.

Jakarta, 16 Oktober 2012

Rurisa Hartomo  

Rubrik ini bekerja sama dengan Komunitas Love Our Heritage.

www.loveourheritage.org

LOVE OUR HERITAGE

@loveourheritage

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA