Rabu 21 Mar 2012 11:20 WIB

Pendakian Rintisan Fuyul Sojol Sulteng (4): Puncak!!

Hutan lumut mendominasi vegetasi dari ketinggian 1500 m dpl sampai puncak.
Foto: Foto-foto: Haris M, Irwanto, Galih, Yudi
Hutan lumut mendominasi vegetasi dari ketinggian 1500 m dpl sampai puncak.

Kicau burung saling bersahutan di pagi yang cerah. Sinar matahari satu-satu berhasil menerobos lebatnya kanopi hutan. Diiringi nyanyian burung, langkah kembali terayun menembus belukar rotan yang mengisi ruang-ruang bawah hutan rimba Sojol. Kubangan-kubangan air banyak ditemukan sepanjang lintasan bekas hujan semalam.

“Ada gubuk di depan!!” Degup jantung sedikit terpacu, terbayang sosok bercawat dengan sumpit dan tombak yang banyak kami dengar sebelumnya. “Lea Jeang, mangge!!” kalimat yang paling kami hapal itu kami kumandangkan seraya mendekati gubuk. Tak terdengar jawaban.

Semakin dekat, gubuk tersebut terlihat sudah cukup lama tak lagi dipergunakan walaupun beberapa alat masak tradisionil masih tersimpan di dalamnya. Selain itu, banyak tali plastik seperti tali jebakan yang sebelumnya kami temui, tergulung diselipkan di dinding gubuk. Satu jerigen terisi setengah tersimpan di sudut.

“Hmhh, mungkin ini hanya gubuk persinggahan ketika mereka berburu,” pikir kami. Sedikit meneliti dan memeriksa isi gubuk, banyak sekali ditemukan tulang belulang babi hutan di sekitar gubuk. Rupanya binatang ini menjadi makanan mereka. Mirip Obelix dan Asterix orang Galia, canda kami.

Melewati Kemah 3

Jarak terus kami tambah walau hujan turun dengan deras sejak siang sampai sore. Suhu yang dingin menusuk di bawah curah hujan, membuat kami menghentikan langkah untuk membuat perlindungan. Selain itu persediaan air menipis. Sungguh sayang kalau sampai hujan reda dan kami tak sempat menampungnya.

Tenda didirikan pada sebuah dataran memanjang. Dengan tubuh setengah menggigil, kami menampung air hujan ke dalam semua jerigen, botol dan kantung air. Teh dan kopi panas dengan cepat tersaji, sangat terasa hangat di perut, apalagi pakaian kami masih basah kuyup.

Hujan reda hampir pukul 7 malam bertepatan dengan sajian makan malam racikan Galih yang terasa menggairahkan selera. Ditemani api unggun yang mulai kuat panasnya, di antara jemuran pakaian di sekeliling areal tenda, satu-satu bintang mulai muncul menambah kenikmatan makan malam ini.

“Menurut perhitungan sih, Kemah 3 bakal kelewat hari ini. Mudah-mudahan tekor hari kemarin bisa kebayar sekarang.” Perkiraan kami ini didukung dengan medan lintasan berupa punggungan lebar. Selain itu rotan sudah semakin jarang sehingga lintasan yang kami pilih lebih terbuka tak perlu banyak menebas.

Satu jam berjalan, Kemah 3 berhasil kami lalui. Pada satu pertemuan punggungan kami sempat mencari dan memperkirakan lintasan yang pernah dibuat pendaki sebelumnya yang bergabung ke lintasan kami.

Bayangan mengikuti jalur yang sudah ada bekas pendaki sebelumnya akan memudahkan kami, luluh ketika menghadapi medan sebenarnya. Waktu yang cukup panjang sejak terakhir pendakian sekitar 3 tahun lalu membuat belukar kembali menutupnya. Belum lagi robohan pohon banyak menghalangi lintasan. Tanjakan, turunan tajam dan tipis kembali harus ditempuh.

Bangkalang Balukan yang menjadi patokan (stringline-garis batas) sebelah utara atau sebelah kiri kami terdengar mengguruh jauh di kedalaman lembah di bawah sana. Memasuki hutan berlumut tebal, batu-batu yang banyak mengisi lantai hutan menyulitkan kami mencari tempat untuk mendirikan tenda di sore hari ke 11 ini.

Kabut perlahan mulai turun, batara kala mulai menyelubungi hari yang semakin tua. Setelah mencari beberapa kali tempat mendirikan tenda, di tengah kepungan lumut tebal yang dingin, malam berlalu dalam dengkuran yang gelisah.

Puncak!!

Pagi yang basah di antara lumut tebal membuat malas untuk keluar tenda. Tidur yang terganggu gatal di sekujur tubuh akibat kutu babi dan pacet menjadi penyebab keengganan memulai hari. Tapi apa daya, Sojol masih merentang jarak di ketinggian sana.

Ransel kembali bertengger dengan angkuhnya di punggung kami. Tanjakan demi tanjakan di hutan terselimut lumut dan kabut mengantarkan kami di sore hari ke-12 itu pada tulisan di seng yang dipaku pada sebuah pohon, “PUNCAK!!”

Namun, kami harus meredam sejenak semangat untuk menggapainya. Malam yang segera datang menjelang menunda pencapaian puncak. Malam yang dingin di hutan lumut ditemani bintang bertaburan serta sepotong bulan di angkasa menghembuskan tiupan angin yang menggigilkan.

Mengikuti tanda jalur berupa pita yang diikat ke batang pohon, lintasan terasa semakin melipir punggungan. Semakin lama lintasan semakin miring, tipis dan curam. Sempat kami menjumpai sebuah gua, terlihat dari jejak-jejak dan bekas yang tertinggal. Dugaan kami, gua itu menjadi tempat sementara untuk berteduh penghuni asli gunung ini. Melihat jejak itu pula, kami menduga lintasan ini adalah lintasan penduduk pedalaman saat berburu.

Pada sebuah dataran agak lebar, sambil mempersiapkan makan siang, orientasi dilakukan. Ternyata dari hasil orientasi, jalur yang kami ikuti memutari kaki puncak Sojol dan kami berada hampir di utara puncak Sojol. Jalur pelipiran ke depan masih terus bermain di kemiringan curam.

Setelah meyakinkan posisi, kami putuskan untuk langsung naik berpatokan pada sudut kompas 172°. Dengan sudut itu, kami yakin akan langsung menuju puncak Sojol.

Usai makan siang, rencana dilaksanakan. Jalur yang dipilih adalah sebuah punggungan lebar sehingga cukup mudah untuk menembusnya. Kabut tebal turun sangat cepat ketika sampai di dataran sekitar puncak. Pandangan ke sekitar sangat terbatas baik oleh rapatnya pohon dan kabut yang semakin tebal dan mulai menurunkan gerimisnya.

Triangulasi

Konon menurut cerita, di puncak Sojol terdapat triangulasi walaupun pada peta sama sekali tidak digambarkan adanya triangulasi tersebut. Dataran landai sekitar Sojol akhirnya kami telusuri untuk mencari dan membuktikan adanya triangulasi itu.

Sayang, gerimis semakin deras sementara kabut bukannya membuka malah semakin tebal memaksa kami untuk mencari areal untuk bermalam. Petir menggelegar dibarengi hujan deras berpadu dengan angin menderu membawa suhu yang terasa lebih dingin dari hari-hari sebelumnya. 6°C, man!!

Hujan pembawa berkah --dengan penuhnya seluruh tempat air-- reda 2 jam kemudian. Angin dari lembahan terus mendera menambah dingin suhu udara. Kami yang berteduh di bawah flysheet sambil menahan dingin mulai bergerak membangun tenda. Angin dari lembahan terus menerjang diiringi suara yang menyeramkan.

Malam belum lagi menjelang tapi kami lebih nyaman berada di dalam dekapan kehangatan tenda. Bahkan ajakan makan malam dari tenda sebelah yang bertugas memasak dengan malas kami tanggapi. Hanya saja cacing-cacing di perut dengan buas berontak membuat kami keluar tenda yang langsung disambut suhu yang dingin. Sampai minus derajat sih pasti tak mungkin, walau hidung kami dengan tak sadar terus mengucurkan cairan. Tak berminat lagi kami melihat thermometer yang digantung di luar sana.

Perut terisi, tubuh terasa lebih hangat. Lebih hangat lagi ketika sleeping bag Eiger —salah satu sponsor pendakian ini— membungkus seluruh tubuh di dalam tenda. Esok, kami kembali harus mencari dan membuktikan cerita tentang triangulasi dan memastikan keberadaan kami di puncak Sojol!!!

Haris Mulyadi (Wanadri)

W-644 Bayu Rawa

Tim Sojol: Irwanto, Haris, Kolotok, Yudi Barkah, Galih, Djarot, Ayonk, dan Agus

Rubrik ini bekerja sama dengan komunitas relawan AlamSemesta.

AlamSemesta Institute didukung oleh Mer-C dan Wanadri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement