Senin 19 Mar 2012 16:03 WIB

Pendakian Rintisan Fuyul Sojol Sulteng (3): Diserang Nyamuk dan Kutu

Di antara pepohonan di dataran sempit, tenda dan flysheet didirikan. Walau terlihat sesak namun cukup untuk melewati malam.
Foto: Foto-foto: Haris M, Irwanto, Galih, Yudi
Di antara pepohonan di dataran sempit, tenda dan flysheet didirikan. Walau terlihat sesak namun cukup untuk melewati malam.

Hari kedua pendakian tak berbeda dengan hari pertama. Beban yang masih sarat, rotan dan pandan masih menjadi kendala ketika harus bergerak cepat memperpanjang jarak. Kami mengulangi pengalaman sebelumnya saat bermalam di hari ke dua: udara yang panas dan tidur tanpa tenda. Namun kini fatal. Kami lupa bahwa kemarin kami belum beradaptasi dengan aktivitas berat ini sehingga tubuh cepat lelah dan dapat tidur nyenyak tak merasakan keadaan sekitar.

Di hari ke dua ini kami mendapatkan pelajaran pahit. Saat malam mulai datang, puluhan bahkan ratusan nyamuk datang menyerbu. Bukan itu saja, bermacam kutu terasa menggerayang di tubuh kami. Suara dengingan nyamuk dan garukan di badan harus kami rasakan sepanjang malam. Lotion anti nyamuk hanya sejenak menghentikan serbuannya karena keringat tubuh di udara yang panas ini dengan cepat melunturkannya.

Pagi datang, dengan malas kami hadapi. Kurang tidur semalam sangat terasa di pagi ini. “Kenapa mata lu bengkak, Tok,” tanya Djarot pada Kolotok. “Kena nyamuk, euy!” jawab Kolotok dengan lesu.

Rupanya tadi malam untuk menghindari serbuan nyamuk, Kolotok dapat ide menutup seluruh tubuhnya dengan sarung dan hanya menyisakan bagian matanya yang terbuka. Sadisnya, nyamuk Sojol ternyata tak pilih-pilih tempat. Ketika seluruh tubuhnya terbungkus sarung dan hanya bagian mata itu saja yang terbuka, bagian itulah yang diserangnya. Lumayan, ‘penderitaan’ Kolotok cukup menyegarkan suasana pagi yang muram ini.

“Uff, apa ini?” Ayonk memeriksa bagian tubuhnya. Sebentuk kecil kutu tengah mencari bagian tubuhnya untuk digigit. “Gila, ini sih kutu babi!!” Kekhawatiran kami ketika melintasi banyak kubangan-kubangan babi di sepanjang lintasan ternyata terbukti.

Hari-hari pendakian setelah hari ketiga, selain masih terdengar suara chainsaw di lembahan, kutu babi dan pacet menjadi menu rutin pemeriksaan badan di sela-sela istirahat.

Ketika hujan datang, di siang hari saat sampai di kemah I, kami mandi sepuas-puasnya membersihkan badan. Tak kami hiraukan lagi waktu tersisa untuk menambah jarak. Tenda berdiri di hari ke tiga ini, tak rela lagi kami berbagi darah dengan nyamuk dan kutu. Malam itu dengingan nyamuk hanya mampu berputar di sekitar tenda. “Rasain, Lu!!”

Puncak 1229

“Tadi kita sudah sampai di atas puncakan, sepertinya itu puncak 1229!!” laporan pembuka jalur, Ayonk, Kolotok, Djarot dan Agus. “Orientasi tidak?” tanya saya. “Nggak bisa, tertutup kabut,” jawab Kolotok. “Ok, besok kita bergerak bersamasama. Semua beban kita bagi rata, masing-masing 2 paket,” putus saya di hari ke 8 itu.

Belum jam delapan kami berdelapan sudah siap dengan ransel di punggung. Turunan dan tanjakan terasa menguras tenaga. Dan yang paling mengesalkan adalah rotan dan durinya. Tak terhitung berapa kali kami harus terjerembap ketika kaki terkait rotan yang menjalar di tanah, atau terjengkang ke belakang ketika sulur rotan berduri mengait ransel, saat berusaha maju. “Mana puncaknya, Tok ?”

“Eh, ternyata salah euy, puncak 1229 masih di depan,” jawabnya sambil cengengesan. Yah, kesalahan yang cukup bisa kami terima akibat kabut dan kanopi yang lebat menyulitkan untuk orientasi.

“Okelah dirikan saja kemah di sini, sementara saya, kolotok dan Djarot membuka jalur ke depan,” usul saya yang langsung disetujui. Ketika kami bertiga membuka jalur, seperti biasanya rotan dan pandan mendominasi vegetasi yang harus kami tembus. Namun kali ini rotan yang kami hadapi lebih besar dari rotan sebelumnya, bahkan ada rotan yang memiliki diameter 20 sampai 30 centimeter, tentunya dengan duri yang lebih besar. Belum lagi pacetnya, juga terasa lebih banyak dibandingkan sebelumnya.

Tiga jam kemudian kami bertiga bergabung di kemah yang kami dirikan. “Jalur sudah kita temukan, kita pindah punggungan ke kiri untuk menghindari kemungkinan ketemu tebing,” kata saya. Memang lintasan menuju kemah 2 harus lebih hati-hati kami tentukan. Bentukan kontur di peta 1:50.000 menunjukan ada 2 kontur yang hampir rapat dan biasanya akan membentuk medan yang curam.

Belum lagi cerita pendakian sebelumnya, mereka naik dari titik awal yang beda dan bergabung ke jalur yang kami buat dan mereka harus menerima kegagalan karena terhadang tebing ketika mencoba mencapai kemah 2, kemah rencana kami. “Besok, saya, Ayonk, Kolotok dan Agus membuka jalur dan yang lain menyusul kemudian,” hasil briefing malam ke-9 itu menjadi keputusan untuk pergerakan esok.

Wilayah berburu suku Laoje

Hujan turun dengan deras ketika kami mengawali pagi. Tak terdengar nyanyian burung yang biasanya mengiringi mentari saat pagi datang. Di tengah guyuran hujan yang membuat seluruh tubuh dan pakaian basah kuyup, kami berempat membuka jalur menuju puncakan 1229. Raincoat tak kami kenakan di medan penuh rotan dan duri ini. Selain tak leluasa untuk menebas, duri rotan siap mengoyak pakaian antiair itu.

Satu jam setelah makan siang, kami berhasil mencapai punggungan menjelang puncak 1229 m dpl. Di punggungan itulah kami dirikan kemah, sementara saya berempat terus membuka jalur sampai kemah 2 tanpa ransel.

Medan yang dilalui memang cukup curam, untungnya kami tak terlalu banyak menebas. Sisa-sisa jalur yang dibuat suku pedalaman penghuni Fuyul Sojol ini masih agak terbuka dan pijakannya lebih padat.

Suku pedalaman? Itu hanya dugaan kami. Hal itu diperkuat dengan banyaknya bekas-bekas yang kami temukan di sepanjang jalur, seperti bekas trap (jebakan binatang) dan pondok sementara yang sudah hancur.

Konon, walaupun suku Laoje --suku pedalaman itu-- menempati daerah lebih ke timur dari jalur yang kami buat, namun daerah lintasan kami termasuk areal berburu suku tersebut. Beberapa kali kami temukan trap yang masih aktif, namun beberapa sudah mati bahkan satu trap hanya menyisakan tulang kaki di ujung talinya. Dugaan kami, anoa serta babirusa yang terjerat itu tak sempat mereka cek sehingga kedua binatang itu mati lemas dalam jebakan dalam waktu yang lama.

Kemah 2 di ketinggian 1336 m dpl berhasil kami tembus. Tapi walaupun kami namakan kemah, tidak kami gunakan untuk bermalam. Kami berempat kembali turun ke punggungan menjelang 1229 m dpl untuk bermalam.

Ujian Sojol

“Setelah puncak 1336 ini, kita turun 6 kontur. Hati-hati, jalurnya tipis!”

Penggambaran medan lintasan di peta membuat kami meningkatkan konsentrasi. Menebas sudah tak lagi selebat sebelumnya. Jalur yang tipis berbatu serta menurun membuat lintasan yang kami pilih sedikit terbuka.

Kami berpegangan pada akar dan pohon, turunan yang kami waspadai ini memang sangat curam. Gravitasi bumi begitu terasa apalagi dengan beban di punggung yang masih sarat. Saat memilih pijakan pun harus hati-hati. Batuan-batuan di lantai hutan lintasan ini begitu rapuh dan goyang saat dibebani. Sepertinya kami harus berterimakasih pada akar dan pohon yang beberapa kali menjadi penyelamat saat kaki kami terpeleset salah memilih pijakan.

Tiba di dasar turunan, lintasan semakin tipis. Kiri kanan kami kedalaman cukup mendebarkan, menguji konsentrasi yang tinggi. Panjang lintasan di dasar turunan ini memang tak terlalu panjang, tapi lintasan tipis bentukan dari pertemuan awal lembahan ini sangat minim pohon untuk pegangan.

Alhasil, bukan cuma kaki yang menapak di batuan lintasan tipis selebar 40 sampai 60 centimeter itu, tangan pun ikut pula berpegangan pada batu yang seharusnya menjadi pijakan. Kadangkala kami maju dengan setengah membungkuk, atau berlagak seperti pemain sirkus yang sedang meniti tali.

Untunglah lintasan sepanjang kira-kira 100 meter itu bisa kami lewati sampai akhirnya kami berpegangan pada sebuah batu besar di hadapan kami. Berakhirkah ujian konsentrasi ini? Ternyata tidak! Batu besar itu ternyata menghalangi jalur yang seharusnya menjadi lintasan kami. Naik ke atasnya, terlalu tinggi. Melipir ke sisi kanan batu itu satu-satunya cara untuk menghindarinya. Tak sejauh lintasan sebelumnya memang, namun selain badan harus mepet ke badan batu, pijakan kaki bukan lagi tanah atau batu. Tapi hanya akar-akar pohon yang merambat sementara bagian bawahnya kosong. Cukup mendebarkan ketika kaki kami menapaknya, akar itu terasa bergoyang saat dipijak.

Satu-satu kami berhasil melewati lintasan akar sepanjang 10 meter itu sampai nafas lega menghembus saat kaki kembali memijak tanah. Lintasan selanjutnya memang masih tipis dan menanjak. Pohon dan akar kembali membantu tubuh kami saat menambah ketinggian dan berhasil menemukan daerah yang cukup lebar untuk mendirikan tenda.

Haris Mulyadi (Wanadri)

W-644 Bayu Rawa

Tim Sojol: Irwanto, Haris, Kolotok, Yudi Barkah, Galih, Djarot, Ayonk, dan Agus

Rubrik ini bekerja sama dengan komunitas relawan AlamSemesta.

AlamSemesta Institute didukung oleh Mer-C dan Wanadri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement