Ahad 21 Apr 2019 17:21 WIB

Benarkah Kartini Dipingit?

Mengapa Kartini bisa mengunjungi rumah Asisten Residen Jepara di seberang alun-alun.

Museum Kartini di Alun-alun Kota Jepara, Jawa Tengah.
Foto: ANTARA FOTO
Museum Kartini di Alun-alun Kota Jepara, Jawa Tengah.

Oleh: Priyantono Oemar

Melihat pintu masuk, kesan upacara yang akan dilangsungkan di gedung itu sudah didapat. Motif dekorasi keraton yang sederhana dan pigura emas yang lebar dengan foto RA Kartini, menjadi penanda upacara apa yang akan segera digelar di Sekolah Van Deventer Solo itu pada Ahad malam, 21 April 1929.

De Sumatra Post 4 Mei 1929 melaporkan, PAH Mangkunegoro VII juga hadir di acara peringatan 50 Tahun RA Kartini atas inisiatif Solosche Van Deventervereniging itu. Dari keluarga Kartini hadir RA Santoso dan RMH Soemarto. Foto besar RA Kartini berbingkai emas hadiah dari Mangkunegoro VII itu seperti penanda "sangkar emas" yang dulu mengurung Kartini remaja.

Suatu hari, Kartini terpecah konsentrasi belajarnya ketika teman Belandanya, Lesty, sibuk belajar bahasa Prancis di jam istirahat ketimbang bermain. Namun, Kardinah di buku Tiga Saudara, mengaku teman-teman di sekolah kebanyakan Belanda peranakan. "Jarang sekali yang bukan Belanda Indo. Anak Jawa juga hamper tidak ada," tulis Kardinah.

Lesty mengutarakan alasannya, tak akan diperbolehkan pergi ke Belanda bila tidak bisa berbahasa Prancis. Ketika dewasa, Kartini juga belajar bahasa Prancis. Ngasirah, ibu kandung Kartini yang anak mandor tebu dan guru mengaji, bisa berbahasa Prancis tetapi tak pernah dipakainya.

Lalu Lesty bercerita tentang cita-citanya, yang membuat Kartini tercekat ketika Lesty memintanya bercerita tentang cita-cita. Setelah sekian lama bengong memandang Lesty, Kartini berujar pendek sambil menggelengkan kepala, "Tak tahu."

Pengalaman hari itu membuat Kartini gelisah. Ia akan menghadapi kenyataan setelah sekolah akan dipingit menunggu ada orang tua laki-laki yang melamarnya. Kelak, Sulastri –kakak perempuan pertamanya— mengalami hal itu terlebih dulu.

Saat sudah dipingit, dan keinginan Kartini tidak dipenuhi ayahnya, ia akan mengurung diri di kolong dipan di kamarnya, menahan rasa malu dan memendam pilu. Bagaimanapun, Kartini harus menjalaninya dengan segala kenakalannya.

Meski dipingit, Kartini masih sering bersyukur. Dari kamarnya, ia bisa menikmati 'musik alam'. "Kalau kami menikmati nyanyian unggas, atau lagu musik yang merdu yang kami hayati sepenuh hati, maka kami pun bersyukur bahwa Tuhan tidak menciptakan kami tuli!" tulis Kartini pada 10 Juni 1901.

Bila Kartini dan adik-adiknya di Klein Scheveningen, mereka bisa menikmati pemandangan sinar keemasan matahari yang terpantul dari permukaan laut. Scheveningen adalah nama pantai rekreasi di Belanda, dipakai Kartini untuk menamai pantai di utara Jepara.

"Tempat tenang di pantai laut yang memikat hati, tempat segala sesuatu yang bernapaskan keheningan, ketenangan, dan keagungan, tempat matahari terbenam dengan sangat indahnya, maka tiada habis-habisnya kami mengucap syukur, bahwa mata kami tidak cacat dan dapat memandang segala kegembiraan."

Pada 18 Mei 1901, gerhana matahari terjadi di Jawa, ahli dari berbagai dunia datang. Tapi Kartini hanya bisa menyaksikan sebentar, karena langit kemudian berawan lalu hujan lebat. Kecewa tentu saja, tapi hujan itu ditunggu-tunggu para petani. "Ayah gembira sekali dengan hujan lebat yang berguna bagi sawahnya."

Di hari Ahad, Kartini sering diajak ayahnya mengunjungi warga, baik ketika ada warga yang sakit, ada kebakaran, ada panen, ada paceklik, ada shalat meminta hujan, ataupun ketika ada perayaan Idul Fitri. Kartini juga pernah ikut menanam padi. 

Ia membaca koran "De Locomotief" yang menjadi bacaan pengusaha Belanda yang suka mengkritik pemerintah Hindia Belanda. Koran ini kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat Jawa.

Dari koran ini pula, sepertinya Kartini mendapatkan informasi kejadian-kejadian buruk rakyat Jawa di luar kabupatennya. Ia misalnya, pernah menulis surat bercerita tentang kelaparan yang menimpa rakyat Demak dan Grobogan. Pengetahuannyaa tentang dunia di luar wilayah kabupatennya. "Luas dan mengagumkan dibandingkan dengan masa dan usianya," puji Pramoedya Ananta Toer.

photo
Buku-buku yang berisi tentang kisah hidup Kartini. (Priyantono Oemar/Republika)

Ia tidak menyukai koran yang hanya mengabarkan hal remeh-temeh seperti kebakaran dan pencurian. Di nota "Berilah Orang Jawa Pendidikan" yang ia tulis untuk pemerintah, Januari 1903, ia mengaku lebih senang jika pengelola penerbitan memuat hal-hal yang dapat "memperluas pandangan, mencerdaskan pikiran, dan memuliakan rasa hati. Sama sekali bukan surat abar yang memuat berita kebakaran, pencurian dan pembunuhan, dan caci maki anonim dan sanjung puji berlebihan."

Meski Kartini mengaku mendapat dukungan dari pers, Pramoedya Ananta Toer menyebut Kartini sebagai single fighter ketika memperjuangkan keinginannya menaikkan derajat rakyat. Namun Pram memaklumi karena di masa itu "bukan saja karena belum ada massa yang mendukungnya, juga karena taraf perjuangan waktu itu belum sampai pada pembentukan massa sebagai jalan ke arah pembentukan berkekuatan serta kekuasaan."

Maka, ketika ia ingin mendapatkan dukungan yang kuat agar keinginannya bisa terealisasi, ia merelakan diri menjadi madu Bupati Rembang, hal yang semula ia tentang keras. Dengan menjadi istri penguasa ia berharap suaminya bisa mendorong percepatan realisasi cita-citanya.

Kartini pintar menangkap aspirasi rakyat kecil. Ia menanggalkan gelar kebangsawanannya, dan memakai gelar tertingginya sebagai "hamba Allah" sama seperti rakyat kebanyakan yang memeluk Islam. Untuk menemukan keunggulan rakyat kecil, ia juga menoleh dongeng dan nyanyian rakyat. Baginya, seperti tertuang di surat tertanggal 20 Agustus 1902, "orang Jawa yang kecil, paling kecil pun adalah puitik."

Maka, mereka menjadi bahan cerita yang menginspirasi perjuangannya, yang kemudian ia tuliskan melalui penanya. Meski kadang meledak-ledak, Kartini dinilai Pram tetap menjaga batas-batasa kesopanan dalam tulisan-tulisannya.

Kartini tentu menyadari hal itu,karenanya di surat tertanggal 30 Sepetember 1901, ia menegaskan, "Perihal kurangnya penguasaan bahasa saya untuk sekehendak hati saya, mungkin itu lebih baik bagi saya. Siapa tahu apa yang sebenarnya baik akan menjadi sesuatu kejahatan apabila ditulis oleh pena yang tidak bijaksana, tidak berpengetahuan dan pemarah."

Sejak kecil, Kartini memang memiliki jiwa yang meledak-ledak. Ia misalnya tak mau berpuasa lagi dan menolak belajar mengaji karena ketika ia bertanya kepada guru ngajinya, guru ngajinya tak bisa mengartikan ayat-ayat Alquran yang disuruh ia baca.

Ia sempat merasa jengah dengan agamanya sendiri dan tercerahkan lewat ajaran agama lain yang ia dapat dari sahabat Belandanya dan bacaan Injilnya. Ia membaca Injil berbahasa Melayu dan membaca ajaran Buddha, sebelum di kemudian hari ia bertemu dengan Kiai Soleh Darat yang fasih menjelaskan arti Alquran.

RM Notosuroto memuji Kartini, bangsawan Pakualaman yang mendirikan Perhimpunan Hindia di Belanda, tetapi memilih opsi Indonesia lebih baik menjadi bagian Belanda daripada merdeka. "Dari bagian kehidupan kalbunya ini kita dapat mengenal garis-garis watak Kartini yang menyebabkan ia menjadi permata toleransi, kesadaran harga diri, dan penghargaan terhadap kebajikan yang juga berasal dari ornag-orang lain," ujar dia seperti dikutip Pram di Panggil Aku Kartini Saja.

Saat menjadi pimpinan Perhimpunan Hindia, Notosuroto pada 24 Desember 1911 menegaskan, pemikiran Kartini dijadikan pedoman bagi Perhimpunan Hindia. Seperti dikutip Bataviaasch Nieuwsblad, Notosuroto menganggap pemikiran Kartini sebagai satu-satunya yang mampu menyelamatkan orang-orang Jawa dan menemukan gemanya di benak para pemuda Perhimpunan Hindia.

Maka, di Amsterdam, air mata Nyonya De Booij-Boissevain jatuh di podium ketika ia pada 22 Desember 1913 menguraikan kisah perjuangan Kartini yang berujung pada kematiannya setelah menjadi ibu. Hadirin menyimak momen tragis Kartini yang diceritakan Nyonya De Booij yang pernah menerima dua kali surat dari Kartini itu.

"Banyak telinga yang juga terlihat lembab di aula," tulis Bataviaasch Nieuwsblad, yang kemudian dilanjutkan Nyonya De Booij dengan ajakan menyokong pendanaan Kartini Fonds untuk membantu sekolah Kartini di Hindia Belanda.

Ini, lanjut koran itu, adalah bukti bagaimana seorang idealis yang meninggal telah menaklukkan banyak hati. De Booij berkenalan dengan Kartini ketika Kartini berkunjung ke Bogor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement