Jumat 28 Nov 2014 14:22 WIB

Sastra Anak Islami, Perlukah?

Harri Ash Shiddiqie
Foto: dokpri
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Harri Ash Shiddiqie

Buku-buku sastra Islam bermunculan pesat lebih dari satu dekade terakhir. Ironisnya, tak banyak ibu-ibu berjilbab menyampaikan kisah islami dengan indah dan fasih menjelang tidur putra-putrinya. 

Ibu-ibu berjilbab itu lebih lancar berkisah tentang makhluk di kahyangan bernama dewa-dewa, ada bidadari yang meniti pelangi turun ke bumi, juga manusia di permukaan bumi yang setelah bertapa dan melakukan ritual tertentu, ia sakti. Ia kuat dan hebat, dalam semalam ia mampu membuat telaga atau seribu candi. 

Pada jiwa anak tertanam ada penguasa laut, penguasa gunung, dan Dewi Sri yang melimpahkan panen padi. Bila kelak dewasa, tatkala dakwah Islam kurang intensif, maka tidak hanya seorang diri, tapi sekampung beramai-ramai melakukan ritual agar diberi selamat dan mohon banyak rezeki. 

Jika ramai-ramai itu tidak efektif, tanpa malu-malu seorang demi seorang datang ke dukun, minta ramalan, minta kaya, juga umur panjang. 

Banyak ibu berjilbab yang tidak sadar, cerita yang diakrabinya di masa kecil berpotensi mengukir jiwa yang putih dengan kehitaman syirik. 

***

Memang telah banyak buku kisah islami yang dicetak, sampul tebal, kertas dan hurufnya menarik, gambarnya bagus, itu keindahan dari segi material. Tetapi bagaimana dengan keindahan isi, keindahan dari segi “rasa”? Keindahan yang menyulut emosi anak-anak, mengundang rasa kagum, cinta, terharu, yang semua itu hanya bisa dipicu oleh pemilihan dan susunan kata, urutan kalimat, plot, konflik, dsb. 

Bila pembaca anak-anak itu bisa menangkap keindahan kisah-kisah islami demikian, ia pasti membacanya berulang-ulang, ingin menikmati keindahannya berkali-kali. Seiring dengan itu ia mampu memahami, menyelami dan berikutnya nilai-nilai Islam  mengakar dalam jiwanya. 

Kisah ketegaran sahabat Saad Bin AbiWaqqash, kisah kehebatan TariqBin Ziyad yang mengukir keagungan Alhambra, di Granada-Spanyol, sampai kisah keajaiban mukjizat tongkat Nabi Musa, bila ditulis  dengan atmosfer keindahan sastra pasti membuat emosi anak-anak terlibat kuat, ada rasa cinta dan kebanggaan, dan dari sana diharapkan terpicunya ghirah mendakwahkan Islam. 

***

Bukankah dakwah harus disesuaikan dengan khalayak? 

Bila beberapa kisah Nabi Musa ditulis dengan “semangat” sastra yang mengandung situasi, konflik, klimaks, dan semacamnya, maka adegannya lebih hidup. 

“Musa dan rombongannya semakin bergegas, sesekali menoleh ke belakang. Tadi, jauh di sana terlihat debu mengepul ke udara, itu pasukan Firaun dalam jumlah besar. Kini, debu itu mendekat, jantung berdebar kecut dan kaki semakin bergegas, tapi kemana? 

Di depan air laut, tak ada kapal, tak ada jembatan. Mereka juga tak siap berperang, tak ada senjata, bahkan banyak anak-anak dan wanita.  

“Itu mereka !” salah seorang rombongan menunjuk punggung bukit pasir yang mulai dipenuhi deretan pasukan berkuda. Tinggal menunggu aba-aba. Sebentar lagi kilatan pedang itu mengiris, melibas, membelah dada yang memancarkan darah, seiring teriakan kepuasan yang garang kemenangan hendak memecahkan langit” 

***

Husain Haekal adalah sastrawan Mesir, karya beliau diterjemahkan oleh Ali Audah berjudul: Sejarah Hidup Muhammad. Pasti berdasar hadis-hadis yang sahih, diungkap dalam bentuk narasi lebih dari 600 halaman.

Kini, tugas kita, mengolah narasi-narasi sejarah, kisah, ataupun tentang keislaman lainnya menjadi lebih hidup. 

Sulit? Memang, tapi bukankah di kesulitan itu ada tersedia pahala untuk kita. Mari, amin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement