Jumat 31 Jan 2014 11:18 WIB

Dari Bunyi ke Sunyi

Hawe Setiawan
Foto: Dok/Republika
Hawe Setiawan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hawé Setiawan

(Kolomnis lepas, mengajar di Universitas Pasundan)

Misalkan, kita telusuri kegiatan membaca dari masa ke masa. Dapat kita lihat betapa kegiatan itu berbeda antara masa yang satu dan masa yang lainnya meski perannya dalam peradaban senantiasa menentukan.

Indonesia sendiri memasuki alam keberaksaraan (literacy) sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 tatkala kolonialisme Eropa memboyong mesin cetak ke Hindia Timur Belanda. Memang, sejak masa silam yang lebih jauh, leluhur Indonesia sudah mengenal kegiatan baca-tulis. Buktinya antara lain adalah naskah daun dalam bahasa Jawa Kuna dari abad ke-14, juga prasasti-prasasti dari masa-masa sebelumnya. Namun, sebelum terpengaruh oleh kegiatan cetak-mencetak, terutama cetak-mencetak teks beraksara Latin, Indonesia —sebagaimana wilayah lain di dunia— dibayangkan berada dalam alam kelisanan (orality).

Dalam alam kelisanan, kegiatan baca-tulis dibayangkan terbatas di lingkungan elité (rahib, raja, dan sebangsanya). Adapun orang kebanyakan tidak mengandalkan aksara. Dalam alam kelisanan, kegiatan “membaca”, dalam arti resepsi teks, cenderung dilangsungkan dengan mengandalkan suara manusia dalam ruang yang bersifat komunal: seseorang yang pandai membaca bertugas memperdengarkan teks yang dia baca kepada khalayak pendengar. Narasi lisan lazim disampaikan dalam bentuk teater tutur dan narasi tertulis lazim disampaikan dalam bentuk serupa. 

Percetakan modern yang mampu mereproduksi teks secara lekas dalam jumlah banyak untuk disebarluaskan ke berbagai khalayak lambat-laun mengubah cara masyarakat memperlakukan teks. Tadinya memperdengarkan teks, kemudian jadi membaca dalam hati alias silent reading. Tadinya bunyi, lalu jadi sunyi. Semula berada di ruang komunal, lantas bergeser ke ruang personal. Percetakan modern bahkan memperkenalkan pula bentuk-bentuk teks baru. Tadinya puisi terikat yang mudah diingat, lalu timbul puisi bebas. Dari cerita bergita beringsut ke prosa yang mengandalkan lugas. 

Sejak itu apa yang disebut membaca dapat dikatakan berbeda dengan yang dimaksudkan pada masa-masa sebelumnya. Juga sejak itu apa yang disebut tulisan dapat dikatakan berbeda dengan yang dimaksudkan pada masa-masa sebelumnya. Dalam hal ini, untuk memahami apa yang disebut tulisan, kita dapat menggunakan model “tulisan utuh” (complete writing) dari Steven Roger Fischer dalam A History of Reading (2003): 1) Tulisan utuh niscaya dimaksudkan untuk melangsungkan komunikasi; 2) Tulisan utuh mesti terdiri atas tanda-tanda grafis artifisial di atas permukaan bidang yang tahan lama atau bidang elektronik; 3) Tulisan utuh harus menggunakan tanda-tanda yang terpaut secara konvensional untuk mengartikulasikan ujaran (penataan suara vokal yang penting secara sistematis) atau pemrograman elektronik yang sedemikian rupa dimaksudkan untuk komunikasi.

Dengan kata lain, apa yang disebut tulisan di sini tidak lain dari teks yang pada dasarnya dibuat untuk melangsungkan komunikasi antarmanusia. Adapun yang dimaksudkan dengan membaca di sini tidak lain dari kegiatan mencerap teks untuk memahami kandungan maknanya. Dalam uraian Fischer dikatakan, “Kegiatan membacalah yang menciptakan Manusia Modern, dan bukanlah kebetulan jika kemunculannya berlangsung di titik persilangan jalur-jalur daratan, perairan, dan lautan yang terpenting yang memperantarai buku-buku cetakan dan bahan bacaan lainnya: literasi yang tersebar luas terdapat di mana-mana terutama sebagai gejala geoekonomi.”

Tentu, perubahan itu tidak serentak atau sekaligus. Hingga permulaan abad ke-20 literasi tampaknya belum begitu berkembang di Indonesia. Dalam buku Aksi Massa yang terbit pada 1926, Tan Malaka mengemukakan statistik dasawarsa 1920-an sebagai berikut: “Mereka yang bisa membaca dan menulis sekarang ditaksir 5% sampai 6%, mungkin juga 2% sampai 3%”. Tan Malaka sendiri melukiskan cara pejuang Jose Rizal dari Filipina menyebarluaskan ide-idenya, yang memperlihatkan jejak-jejak tradisi lisan pada zaman peradaban tulisan.

“Buku-buku dan surat kabar revolusioner ... dimasukkan dengan rahasia sekali dari Spanyol, Hong-Kong dan Singapore, dibacakan oleh pasukan bacaan, yang membacakan pada Rakyat yang tak pandai membaca itu dalam rahasia sekali, karena pemerintah menghukum dan menyiksa keras si pembaca atau si punya buku dan surat kabar itu,” tuturnya.

Betapapun, kaum cerdik cendekia seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan masih banyak lagi, yang menyerap ide-ide baru terutama mengenai kemerdekaan, kebangsaan, dan sebagainya, mengandalkan hasil-hasil percetakan untuk menyebarkan ide-ide itu. Dengan demikian, lambat-laun, ide-ide yang tadinya hanya ada di benak segelintir orang menjadi tersebar ke berbagai kalangan. Timbullah kesadaran mengenai kesatuan pikiran, harapan, cita-cita. Timbullah bangsa. Pantas saja kalau Marshall McLuhan menjuluki hasil cetak-mencetak, “the printed word”, sebagai “the architect of nationalism”:

“Di antara sekian banyak konsekuensi tak terduga dari tipografi, kemunculan nasionalismelah, kiranya, yang paling kentara. Penyatuan penduduk secara politik dengan cara pengelompokan kedaerahan dan kebahasaan tidak terpikirkan sebelum kegiatan cetak-mencetak mendorong setiap aspek kedaerahan ke dalam media massa yang berjangkauan luas. Suku, sebentuk perpanjangan dari keluarga batih, pecah oleh cetakan, digantikan oleh perserikatan orang-orang yang secara homogen terlatih untuk menjadi individu. Nasionalisme itu sendiri muncul sebagai citraan visual baru mengenai nasib dan kedudukan kelompok, dan bergantung pada kecepatan gerak informasi yang tidak dikenal sebelum adanya kegiatan cetak-mencetak. Nasionalisme dewasa ini sebagai citraan masih bergantung pada pers tetapi ditentang oleh semua media elektronik. Dalam bisnis, seperti dalam politik, pengaruh kecepatan pesawat jet sekalipun adalah untuk membuat pengelompokan nasional yang lebih tua dalam organisasi sosial benar-benar tidak bisa dijalankan,” papar McLuhan dalam Understanding Media (1994).   

Kiranya pergeseran dari kelisanan ke keberaksaraan tidak dapat dibayangkan sebagai pergeseran sepenuhnya dari satu ke lain titik, melainkan pergeseran yang mengangkut residu dari peradaban sebelumnya ke peradaban sesudahnya. Hingga batas tertentu, misalnya, sandek alias text message adalah omongan yang dituliskan, emotikon adalah air muka yang digambarkan, status dan komentar dalam jejaring sosial adalah pergunjingan virtual. Sebagian penyair Sunda yang menggubah puisi bebas juga menulis puisi terikat yang disebut dangding, meski para pengarang Sunda kini yang menulis novel tidak lagi menulis wawacan.

Itu dalam hal menulis. Demikian pula dalam hal membaca. Hingga kini, meski orang tua sudah mengirim anak-anak mereka ke sekolah untuk belajar membaca, ada kalanya mereka merasa perlu membacakan buku cerita buat anak-anak menjelang tidur. Pidato pejabat pemerintah seringkali berupa kegiatan membacakan teks. Publikasi siaran pers oleh pejabat humas melalui konferensi pers juga lazimnya berupa upaya memperdengarkan isi teks. Novel pun diangkat ke dalam film, meski hal sebaliknya juga berlangsung. Adapun salah satu contoh yang sangat menonjol mengenai terpeliharanya aspek-aspek kelisanan di tengah alam keberaksaraan adalah prosedur kerja lembaga peradilan: putusan majelis hakim atas suatu perkara di pengadilan, yang tertuang dalam teks ratusan halaman, harus dibacakan oleh anggota majelis secara bergantian. Dan bukankah kita, orang Indonesia, biasanya masih merasa perlu bertanya kepada orang di jalan meski di tangan kita sudah ada peta, bahan dasbor mobil kita sudah dilengkapi sarana GPS pula?   

Mungkin tak perlu kita melihat gejala demikian sebagai paradoks. Barangkali lebih tepat kita melihatnya sebagai tumpang-tindih, saling-silang atau pergumulan di antara beragam warisan zaman yang berlainan. Lagi pula, transformasi masyarakat tidak linear. Tumpang-tindih atau pergumulan seperti ini juga kita rasakan hari ini tatkala kita sedang mengalami transformasi dari peradaban pradigital ke peradaban digital: misalnya, terbentuknya kembali pergaulan komunal di antara orang-orang yang sudah menemukan dirinya sebagai individu (reuni para facebookers, dll.); dicetaknya karangan-karangan yang pada mulanya lahir di jagat virtual (penerbitan buku dari kumpulan status jejaring sosial, dll.).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement