Selasa 24 Apr 2018 06:30 WIB

Kisah Hamka Menghijrahkan Centeng

Islam memiliki adab memuliakan penerima sedekah.

Buya Hamka
Buya Hamka

Oleh: Yusuf Maulana *)

Masa-masa awal berdirinya Masjid Al-Azhar, seorang centeng penjaga masjid mudah dikenali jamaah. Tak terkecuali oleh sang imam rawatib masjid agung di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Buya Hamka. Sang centeng sudah dimaklumi setia dengan tugasnya meski sayangnya ia tidak pernah tampak bersujud di dalam masjid. Padahal, ia tinggal di perkarangan masjid tersebut!

Belum kenalnya shalat sang centeng menjadi keprihatinan tersendiri bagi Buya Hamka. Apa yang mesti diperbuat? Sampai suatu ketika nama sang centeng dimasukkan oleh jajaran takmir sebagai penerima zakat fitrah. Sebuah usaha yang kelak mengubah jalan hidup sang centeng, dari yang hanya setia bertugas di lingkungan masjid menjadi sosok yang taat pula beribadah.

“Setelah fitrah diserahkan kepadanya, bukan main herannya dia,” cerita Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar surat al-Baqarah ayat 272. “Selama hidupnya dia belum pernah menerima fitrah.”

Kebiasaan di kampung sang centeng, yang diberi fitrah itu hanya para kiai dan haji, tak peduli mereka sudah masuk kategori amat mampu. Sang centeng itu saban hendak menunaikan fitrah, ya kepada pada orang-orang alim itu.

Karena itulah, tutur Buya Hamka, “Pemberian fitrah di Idul Fitri dan daging kurban di Idul Adha itu sangat meninggalkan kesan dalam jiwanya. Dia berubah menjadi seorang Muslim yang patuh beragama; dia merasai nikmat beragama!”

Bukanlah sebuah persuaan biasa antara Buya Hamka semasa muda dengan H.O.S Tjokroaminoto. Pemuda Hamka di bilangan 16 tahun mendapat didikan tentang kepedulian pada sesama, langsung dalam wujud konsep sampai aksi nyata. Kesenjangan kekayaan yang terjadi masyarakat acap kali tidak mendapat pemecahan dari pemuka agama ini. Malahan yang berlaku seperti dalam kasus di kampung si tukang centeng Masjid Al-Azhar, yakni para mua’lim justru menikmati hasil jerih payah fakir miskin.

Tidaklah keliru bila Buya Hamka menyebutkan jasa sang gurunya, Tjokroaminoto, lewat pendirian “bank sedekah”. Ide yang oleh Buya Hamka sendiri sudah diprediksi bakal dipandang sebelah mata bahkan dicibir Muslimin sendiri. Padahal, jelas Hamka, “Bank Sedekah yang ke sana orang dianjurkan mengorbankan harta bendanya untuk menolong orang kesempitan. Dia boleh menjadikan harta itu menjadi wakaf atau meminjamkan. gunanya buat membantu orang yang kekurangan modal tetapi tidak mengharapkan bunga.” 

Masih menurut Buya Hamka, “Dan kalau perlu juga dibungai, bukan untuk yang memberikan uang, tetapi untuk yang memperbesar wakaf atau sedekah itu. Inilah yang akan memperkuat tali hubungan silaturahim di antara yang kekurangan, dengan yang berkelebihan uang” (Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, 1984: 261). Peran-peran membantu sesama itu mestinya dilakukan pemerintah. Rakyat yang perlu modal, kata Hamka, dimodali oleh pemerintah. 

Peran-peran pemerintah tidaklah semata-mata lewat politik atau kebijakan yang berpihak bagi rakyat papa dari akses keadilan berikhtiar, namun juga langkah nyata di lapangan. Bukan sekadar “kepedulian” yang menunjukkan kerendahhatian, kedekatan, dan citra-citra positif lainnya yang ternyata hanya komoditas demi meraih kekuasaan. Akses kekayaan yang dimiliki hanya dipakai untuk mengelabui; bukan untuk menyejahterakan rakyat. Bantuan langsung bukan serupa empati dan aksi nyata Umar ibn Khathab, melainkan modus mendamba dipilih dalam kontestasi berkuasa.

Dalam uraian penutup soal kisah hijrahnya centeng penjaga Al-Azhar tadi, Buya Hamja menyitir hadits Nabi, yang terjemahannya, “Bukankah kamu ditolong dan diberi rezeki oleh Allah, lain tidak dengan orang-orang yang lemah itu?” 

Apabila seorang yang kaya raya mempunyai sifat dermawan, jelas Buya Hamka, suka membantu orang yang ketiadaan, maka orang-orang yang dibantu itu akan turut memelihara keamanan harta bendanya. Sebaliknya kalau si kaya raya itu bakhil, sedang orang yang hidup menjadi tetangganya itu lapar, tak dapat tidak rasa benci dan dendamlah yang akan timbul.

Serupa kisah sang centeng yang akhirnya insaf, begitulah pelajaran tentang menyentuh hati. Ada kepedulian dari yang memegang kekayaan (harta, jabatan, kedudukan sosial) kepada sekitarnya. Dan lagi, Islam memiliki adab terkait bersedekah, salah satunya tidak menyakiti penerima. Tidak menghinakan penerima tapi justru memuliakan. Tidak membuatnya sebagai pihak rendahan gara-gara menerima bantuan. Termasuk tindakan menyakiti adalah mengungkit-ungkit jasa bantuan di hari kelak. “Orang-orang yang demikian, dengan tidak sadar, lama-lama akan bertukar menjadi budak daripada hartanya, sesudah tadinya dia masih menguasai harta itu,” tulis Buya Hamka tentang tafsir ayat 263 al-Baqarah. n 

*) Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement