Oleh: Farhan Anshary*)
Bayangkan apabila peta yang anak cucu kita miliki berbeda dengan peta yang kita kenal di masa lalu. Garis pantai Indonesia sebagai negara maritim akan semakin terkikis dan sekitar ribuan pulau kecil terhapus diganti lautan. Kira-kira, apa gerangan yang menyebabkannya?
Jawaban yang paling masuk akal dan ilmiah adalah perubahan iklim. Jika selama ini sebagian orang mengartikan perubahan iklim sebagai pemanasan global dan perubahan pola cuaca saja, maka sesungguhnya perubahan iklim lebih daripada itu. Meningkatnya suhu bumi menyebabkan es-es di kutub mencair. Akibatnya, muka air laut terus naik dan perlahan menggenangi daratan.
Dari tahun 1960-2008, muka air laut di Indonesia memiliki laju peningkatan sebesar 0.8 milimeter tahun. Laju tersebut telah melonjak naik menjadi 7 milimeter per tahun dari tahun 1993. Menurut Achmad Poernomo selaku Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan pada November 2015 menyatakan bahwa berdasarkan penelitian ahli, pada tahun 2050, peningkatan muka air laut akan mencapai 90 sentimeter, sebagaimana dilansir dari Jakarta Post.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Deputi Bidang Kedaulatan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman Arif Havas Oegroseno. Berdasarkan pernyataanyang disampaikan pada Antarapada November 2011 sampai saat ini Indonesia telah kehilangan 29 ribu hektare daratan akibat kenaikan muka air laut. Selain itu, menurut Havas, Indonesia bersamaan dengan negara kepulauan lainnya harus menghadapi permasalahan abrasi, kematian terumbu karang, dan relokasi penduduk pesisir.
Dilema Masyarakat Pesisir
Dalam kasus ini, masyarakat pesisir dan pulau kecil menjadi salah satu kelompok orang-orang yang paling tidak beruntung. Perubahan iklim telah terbukti memaksa masyarakat pesisir untuk mengubah cara berinteraksi dengan laut yang semakin hari tidak bersahabat.
Berdasarkan penilitian Perdana dan Susilowati (2015) di kota Semarang dan Satria dan Wibowo (2016) di Kepulauan Natuna, para nelayan yang umumnya masih melaut secara tradisional mengalami kesulitan yang hampir sama akibat perubahan iklim. Keluhan yang dirasakan di antaranya adalah perubahan musim tangkap dan kejadian cuaca ekstrem. Angin kecang, gelombang tinggi, badai laut datang di luar perkiraan dan menyulitkan nelayan untuk pergi melaut.
Di samping kendala teknis, perubahan iklim secara alami telah mengubah laut menjadi tempat yang tidak nyaman untuk ditinggali lagi oleh makhluk hidup yang ada di dalamnya sehingga ikan-ikan tangkapan pun berkurang. Meningkatnya suhu laut dapat menyebabkan berkurangnya plankton yang merupakan makanan utama bagi ikan-ikan dan kematian terumbu karang yang merupakan tempat ikan-ikan berkembang biak. Bahkan, di Natuna, sejumlah hewan penanda perubahan musim telah menghilang dari amatan.
Semua itutelah menyebabkan jumlah tangkapan nelayan terus menurun. Keuntungan yang didapat tidak sebandingan dengan ancaman lainnya seperti banjir rob maupun banjir dari hujan lebat yang sewaktu-waktu dapat menggenangi rumah mereka. Masyarakat pesisir yang sudah terbiasa bergantung dengan laut akhirnyaterpaksa menjauh dari laut danmenempuh berbagai cara lain agar tetap bertahan hidup, seperti membuka warung, membantu pekerjaan di perkebunan, dan aktivitas-aktivitas lainnya.
Daratan Juga Terdampak
Tidak berakhir sampai di tepian pantai saja, ancaman perubahan iklim turut mengintai masyarakat lainnya yang hidup dari bidang perkotaan maupun pertanian yang cenderung jauh dari laut. Sebagian daerah akan merasakan curah hujan yang makin meningkat, tetapi di sisi lain juga terdapat daerah yang terancam kekeringan. Meskipun efek positif meningkatnya curah hujan dapat dirasakan pada bidang pertanian di sejumlah tempat, tetapi dampak negatif yang diperkirakan muncul lebih patut untuk diperhatikan.
Misalnya, suhu yang terus meningkat malah menjadi kondisi yang sesuai bagi serangga-serangga penyebar bibit penyakit seperti malaria dan demam berdarah untuk berkembang biak. Selain itu, ketersediaan air bersih dan kemungkinan terjadinya banjir rentan memunculkan wabah diare. Persediaan pangan pun terancam menurun akibat produksi pertanian yang sangat dipengaruhi oleh cuaca, sehingga kelaparan dapat terjadi sewaktu-waktu.
Perkiraan oleh WHO menunjukkan bahwa pada rentang 2030-2050;setiap tahunnya akan ada 250.000 orang akibat malnutrisi, malaria, diare, dan udara panas. Negara-negara akan terbebani pengeluaran yang disebabkan oleh permsalahan kesehatan dunia sebesar 2-4 miliar dolar per tahun sampai tahun 2030.
Butuh Sinergi Global dan Lokal
Indonesia tidak bisa sendirian dalam mengatasi permasalahan ini. Terlebih lagi apabila penyebab perubahan iklim justru datang dari luar negeri. Negara-negara kelompok 20 ekonomiutamaatau G20 merupakan salah satu kelompok yang harus bertanggung jawab lebih karena 82 persen karbon dan 75 persen gas rumah kaca lainnya yang ada di atmosfer dilepaskan dari negara-negara tersebut. Gas-gas yang dilepaskan merupakan pemicu utama dari terjadinya perubahan iklim yang dampaknya dirasakan oleh seluruh dunia.
Sebanyak 170 negara yang mengesahkan Kesepakatan Paris, termasuk Indonesia dan negara G20, telah menyetujui untuk berusaha menurunkan pemanasan suhu bumi 2 derajat Celcius. Sebuah tugas besar yang tidak mudah. Selain itu, tantangan lain muncul dari Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Trump yang mundur dalam usaha tersebut. Bagi Trump, perubahan iklim hanyalah kebohongan belaka. Padahal, partisipasi Amerika Serikat berpeluang untuk menurunkan suhu dunia sebesar 0,3 derajat celcius di akhir abad nanti.
Secara garis bedsar, fokus dari tindakan yang dapat diambil Indonesia adalah adaptasi dan mitigasi. Adaptasi merupakan upaya menyesuaikan diri untuk mencegah dan mengatasi dampak perubahan iklim, sedangkan mitigasi merupakan usaha untuk mencegah dan mengurangi penyebab terjadinya perubahan iklim. Salah satu tindakan yang diambil Indonesia adalah menjalankan program blue carbon; di mana keberadaan hutan bakau, rawa payau dan padang lamun dijaga sebisa mungkin untuk menyerap karbon. Karbon yang diserap dapat tersimpan hingga ribuan tahun lamanya.
Namun, perlu dicatat bahwa kedua hal tersebut tidak bisa digantungkan kepada pemerintah begitu saja. Peranan pihak lain seperti masyarakat, swasta, LSM, dan institusi lainnya atau yang disebut sebagai non-party stakeholders(NPS)juga memiliki peran pentingdalam hal ini. Apabila kemampuan masyarakat dan lembaga lokal telah terbangun, maka permasalahan akan lebih cepat diatasi secara mandiri dan dapat membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan.
Contoh dari partisipasi tersebut dapat dilihat dari sekumpulan pemuda penerima hibah dari Lembaga Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia (Indonesia Climate Change Trust Fund/ICCTF) di Bandung 2017 lalu. Dengan kreativitasnya, mereka berjuang bersama penduduk melalui berbagai cara unik; seperti pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Kerinci, pemanfaatan tenaga surya untuk menjalankan pipa pada lahan kering di NTB sehingga menjadi pertanian produktif, juga pemanfaatan teknologi untuk membantu nelayan kecil mengatasi ketidakpastian waktu dan lokasi tangkap di pesisir selatan Jawa.
Sinergi tersebut butuh dilakukan secara serius dan segera. Perubahan iklim bukanlah sesuatu yang dampaknya mudah diprediksi. Tanpa tindakan yang menyeluruh dan harmonis di tingkat global maupun lokal, cita-cita Indonesia sebagai poros maritim dunia hanyalah sekadar dongeng indah untuk anak cucu kita nanti.
*)Mahasiswa Teknik Industri Universitas Gadjah Mada, aktivis Baitul Hikmah Yogyakarta.