Selasa 29 Aug 2017 18:18 WIB

Imunisasi, Hak Anak atau Hak Orang Tua?

Petugas kesehatan menyiapkan vaksin Measles Rubella (MR) yang akan disuntikkan kepada siswa saat Kampanye Imunisasi Campak dan MR di SMPN 9, Bandung, Jawa Barat, Selasa (1/8).
Foto: Antara/Fahrul Jayadiputra
Petugas kesehatan menyiapkan vaksin Measles Rubella (MR) yang akan disuntikkan kepada siswa saat Kampanye Imunisasi Campak dan MR di SMPN 9, Bandung, Jawa Barat, Selasa (1/8).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh dr. Ika Fajarwati, MARS

Kampanye imunisasi MR yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia pada bulan Agustus dan September 2017 telah menimbulkan reaksi yang luar biasa dari masyarakat. Banyak rakyat yang menyambut gembira adanya program ini, tetapi ternyata tidak sedikit pula yang menolak imunisasi MR karena berbagai isu yang beredar.

Salah satu yang diangkat adalah mengenai “kehalalan” vaksin MR, dikaitkan dengan hak orangtua untuk menolak imunisasi karena dianggap sebagai hak asasi orangtua atas kesehatan anaknya. Mari kita telaah dasar hukum yang dijadikan acuan oleh tulisan tersebut.

1. UU Jaminan Produk Halal No.33/2014

Dalam Pasal 1 ayat 2 disebutkan, “Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai  dengan  syariat Islam.”

Dalam Ayat 5; “Jaminan produk halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan  dengan Sertifikat  Halal.”

Ayat 10; “Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang  dikeluarkan MUI. Pasal 4:” Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.”

Untuk definisi tersebut diatas, sudah cukup jelas pengertiannya. Mari kita bahas pasal selanjutnya mengenai bahan dan proses produk halal, lihat Pasal 17-20.

Pasal 20, ayat 2; “Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan huruf d diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau  pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan.”

Pasal 33 ayat 1; “Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI. Dan itu dalam sidang Fatwa.” Kami sepakat bahwa sertifikasi halal akan vaksin MR ini merupakan hal yang penting dan pokok untuk dilakukan mengingat mayoritas warga Negara Indonesia merupakan umat Islam yang membutuhkan kepastian tersebut.

Namun, untuk dapat memperoleh sertifikat halal dari MUI, diperlukan dokumen administrasi, dan pemeriksaan langsung ke produsen vaksin ini untuk menilai dengan teliti mulai dari bahan, zat yang digunakan, proses pembuatan hingga produk akhir yang diluncurkan. Proses pengajuan hingga didapatkannya sertifikat halal untuk produk vaksin MR dapat memakan waktu bulanan hingga tahunan.

Lantas, apakah kita harus menunda pemberian vaksinasi MR sampai sertifikat halal dikeluarkan? Tentu tidak, ada prioritas yang harus kita lakukan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat penyakit campak, dan angka kecacatan pada bayi baru lahir akibat penyakit rubella pada ibu hamil.

Dan ketiadaan sertifikat halal untuk saat ini, tidak berarti vaksin menjadi haram, karena pada hakikatnya seluruh zat yang ada di alam dan dapat digunakan oleh manusia adalah halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Lalu mengapa pemerintah seperti terkesan terburu-buru dan mendadak sekali memberikan vaksin MR dengan kisaran usia yang begitu lebar dan jumlah sasaran yang mencapai total 70 juta anak dalam waktu 1 tahun?

Ini karena sebenarnya Indonesia sudah sangat terlambat ikut serta rencana strategis WHO yang eliminasi kasus campak pada tahun 2020. Indonesia seharusnya sudah dapat mencapai target ini di tahun 2015.

Vaksin rubella yang kemudian dimasukkan kedalam kampanye MR ini juga bukan hal yang baru, karena adanya WHO Position Paper on Rubella Vaccines sejak tahun 2011 merekomendasikan semua Negara yang belum memasukkan vaksin rubella dan telah menggunakan 2 dosis vaksin campak untuk memasukkan vaksin rubella dalam imunisasi rutin.

Alih-alih langsung memasukkannya ke dalam program imunisasi rutin, pemerintah memilih untuk melakukan kampanye imunisasi MR dengan tujuan mencapai cakupan imunisasi yang tinggi dapat tercapai dalam waktu yang singkat. Apabila program MR langsung masuk ke dalam imunisasi rutin, akan banyak terjadi “kehilangan” sasaran karena rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai imunisasi ini selain target usia yang sudah tidak pernah lagi datang ke layanan kesehatan untuk imunisasi.

Dikhawatirkan dapat terjadi outbreak (kejadian luar biasa/KLB) campak dan sindrom rubella kongenital pada kantong-kantong daerah yang cakupan imunisasinya rendah.

2. UUD 1945 Amandemen terakhir

Aturan tertinggi di Negara ini adalah UUD 1945 (dengan amandemen terakhir yang telah ditetapkan oleh MPR). Mari kita bedah satu persatu aturan yang berhubungan dengan kesehatan ini.

Dalam alinea 4 pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: ”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Bagian kalimat yang dicetak tebal merupakan perhatian penulis. Bahwa salah satu tujuan pembentukan pemerintah Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Apa hubungannya dengan imunisasi? Imunisasi sudah terbukti secara ilmiah dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit yang spesifik. Perlindungan terhadap penyakit ini sangat sejalan dengan tujuan pemerintah Indonesia.

Selanjutnya, mari kita telaah isi UUD 1945 Bab XA Tentang Hak Asasi Manusia,

Pasal 28A : “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”

Pasal 28B ayat 2 :”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Aturan diatas menjelaskan bahwa hak untuk hidup merupakan hak asasi setiap manusia. Maka, imunisasi merupakan hak anak untuk dapat hidup dengan baik, terhindar dari penyakit yang dapat dicegah dan menikmati kesehatan sebagai hak asasinya.

Janin yang belum lahir pun telah memiliki hak untuk hidup dan terhindar dari kemungkinan keguguran atau lahir dengan sindrom rubella kongenital akibat ibunya tertular virus rubella ketika hamil muda.

Pasal 28 tentang G ayat 1; “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Pasal 28J ayat 1:“Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”

Pasal 28J ayat2:“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Dalam hidup kita, selain hak asasi yang kita miliki, ada juga hak asasi milik orang lain. Sebagaimana kita berhak hidup dengan baik, orang lainpun demikian adanya. Keputusan untuk memberikan imunisasi kepada anak tidak semata-mata merupakan hak asasi kita untuk menentukan, namun juga ada hak asasi (anak) orang lain di dalamnya.

Apabila kita memilih untuk tidak memberikan imunisasi kepada anak, kemudian anak kita sakit dan menulari ibu hamil muda, sehingga terjadi keguguran atau sindrom rubella kongenital pada bayi yang dilahirkannya, sejatinya kita telah melanggar hak orang lain untuk hidup.

Masyarakat juga dilindungi UUD 1945 Pasal 29. Pasal ini membahas tentang Agama dan kebebasan setiap penduduknya untuk menjalankan ibadahnya. Imunisasi juga merupakan amal sholeh yang dapat diniatkan untuk beribadah, maka aturan ini tidak dapat dijadikan acuan untuk menolak imunisasi.

3. UU no. 23 tahun 1992 : “Setiap tindakan kesehatan harus persetujuan keluarga.” UU yang sama tentang kesehatan telah diterbitkan oleh pemerintah bersama DPR yaitu UU no. 36 tahun 2009, otomatis UU no. 23 tahun 1992 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.

Sekarang mari kita telaah lebih jauh aturan yang tercantum dalam UU no. 36 tahun 2009.

Pasal 1 (1):“Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis”.

Pasal 1 (13) yang berbunyi : “Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.” Imunisasi telah terbukti merupakan satu-satunya upaya kesehatan preventif yang spesifik terhadap suatu penyakit.

Pasal 4 : “ Setiap orang berhak atas kesehatan.”

Pasal 7:“Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.” Patut digarisbawahi mengenai informasi dan edukasi yang seimbang dan bertanggung jawab. Banyaknya hoax tentang kesehatan, khususnya fitnah terhadap vaksin dan imunisasi membuat kalangan masyarakat menjadi galau dan meragukan program imunisasi.

Pasal 9 (1) : “Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.”

Pasal 9 (2): “Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.”

Pada bab hak dan kewajiban, jelaslah bahwa setiap orang memiliki hak atas kesehatan, dan disisi lain juga harus melaksanakan kewajiban untuk menghormati hak orang lain. Imunisasi bukanlah program egois, yang manfaatnya hanya dirasakan oleh orang yang menerima vaksin, tetapi juga turut memenuhi kewajibannya untuk ikut mewujudkan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan adanya herd immunity.

Istilah yang disebutkan terakhir bisa berarti "imunitas atau kekebalan lingkungan". Yaitu ketika jumlah anak yang diimunisasi di satu wilayah cukup banyak, maka kekebalan terhadap penyakit spesifik yang ditimbulkannya pun mampu melindungi anak-anak lain yang belum atau tidak diimunisasi.

Pasal 19 : “Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.” Dibandingkan dengan biaya pengobatan melalui jaminan sosial yang harus ditanggung pemerintah untuk penyakit menular, berbahaya dan mematikan, imunisasi merupakan metode yang jauh lebih murah, mudah dan efisien.

Mengenai perlindungan pasien, UU ini pun mengaturnya, yaitu dalam pasal 56 ayat 1 yang berbunyi : “Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.”

Bagian kalimat yang dicetak tebal menjadi penting karena ternyata banyak masyarakat yang menolak tindakan imunisasi karena menerima informasi yang tidak benar dan belum memahami manfaat imunisasi dengan baik.

Namun dalam keadaan tertentu, hak untuk menolak ini tidak berlaku, sebagaimana bunyi ayat 2 pasal 56 yaitu : “Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada: a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas.”

Penyakit campak dapat menyebar secara cepat sehingga menimbulkan kejadian luar biasa yang selalu berulang di beberapa daerah di Indonesia. Infeksi rubella yang secara diam-diam menyerang ibu hamil telah menyebabkan tingginya kasus Sindrom Rubella Kongenital pada bayi-bayi yang tidak berdosa.

Secara khusus mengenai imunisasi dapat kita lihat pada pasal 132 (3) yaitu : “Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi.”

Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah, seperti yang tertulis pada pasal 130 : “Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.”

Mengenai aspek keamanan vaksin pun telah tercantum dalam pasal 153: “Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular melalui imunisasi.”

4. UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ternyata juga berkaitan dengan imunisasi

Pasal 4 : “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang serta mendapat perlindungan.”

Pasal 8 : “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Kedua pasal ini secara khusus membahas kesehatan pada anak, hal ini sejalan dengan UU no. 36 tahun 2009 yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.

Pasal 77: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan: (b) penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit/penderitaan baik fisik, mental maupun sosial (c) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah)

5.UU no. 4 tahun 1984 tentang Wabah, pasal 5 ayat (1) huruf yaitu : “ Upaya penanggulangan wabah meliputi: pencegahan dan pengebalan. ”Satu-satunya yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan imunisasi. Dalam pasal 14 tentang ketentuan pidana disebutkan bahwa,

(1) :“Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).”

(2):“Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

Ternyata ada banyak sekali payung hukum yang melandasi program imunisasi yang dilaksanakan oleh pemerintah. Sebagai warga Negara yang baik, tentu kita ingin mendukung pemerintah mewujudkan masyarakat yang sehat. Vaksin yang digunakan oleh pemerintah telah terstandar secara internasional, dibawah pengawasan ketat oleh WHO dan telah teruji keamanan, efektivitas serta manfaatnya.

Berdayakan diri kita menjadi masyarakat dengan kecerdasan literasi yang tinggi dengan kemampuan untuk memilih dan memilah informasi yang benar, dapat dipercaya, ilmiah dan sesuai dengan bukti yang telah ada dalam penelitian. Jangan mudah termakan isu yang belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Wallahu ‘alam.

Penulis adalah dokter umum peduli upaya preventif kesehatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement