Kamis 12 Apr 2012 10:49 WIB

Pungli SIM di Depok

Tes tertulis pembuatan SIM
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Tes tertulis pembuatan SIM

Pagi-pagi di suatu hari pada bulan Maret 2012 dengan prasangka yang baik saya melangkah ringan ke Polda Depok bagian pengurusan SIM di jalan Tole Iskandar. Langkah pertama disambut calo-calo, namun saya tolak dengan halus… ngak usah mas/pak saya mau nyoba sendiri… saya sangat yakin dengan kemampuan bermotor yang udah lebih dari 10 tahun di jalanan kota Jakarta dan lagi saya pernah punya SIM plus persiapan baca-baca di internet mengenai peraturan dan rambu lalu lintas.

Test kesehatan lancar, bayar dan ngisi formulir lancar walau di setiap tahapan para calo selalu mendekat menawarkan bantuan. Setelah menunggu tidak berapa lama saya dipanggil untuk mengikuti tes tertulis, ada puluhan orang mengikuti tes tersebut. Deg-degan.. tapi syukur saya lulus.

Matahari udah mulai panas, akhirnya dipanggil untuk mengikuti praktek. Hanya 5 orang yang lanjut ke test praktek (mulai geleng-geleng.. parah hanya 5 orang yang lulus dari puluhan peserta).

Kepercayaan diri saya runtuh pada waktu melihat lokasi test praktek. Hampir mustahil untuk lolos. Jalannya sangat sempit berbelok-belok pendek dan 2 lingkaran harus dilalui tanpa menjatuhkan kayu dan tidak boleh turun kaki barang 1 detik pun plus harus pakai motor polisi dan tidak boleh latihan dulu (tes ini saya pikir cocok untuk SIM akrobat motor).

Alhasil dari 5 peserta tidak ada satu pun yang lulus walau dalam kenyataannya kemampuan bermotor peserta sudah sangat baik. Ada yang menjatuhkan 1 kayu, ada yang turun kaki sekali, dst.

Logikanya tidak ada SIM C yang terbit hari itu karena tidak satu pun peserta yang lulus tes. Tapi kenyataannnya lain, bisa ngurus lewat calo, mereka dapat SIM tanpa tes dan tidak buang-buang waktu seperti saya. Dasar saya emang goblok, kok yakin bisa lulus... Tapi saya ingin tau apakah kapolri, kapolda, dan anggota polisi lainnya bisa lulus praktek yg sedemikian tsb???

Polisi inisial H dengan ramah mengumumkan ketidaklulusan kami dan menginformasikan tes berikutnya 10 hari kemudian. Baiklah saya akan datang lagi. “Saya akan latihan di rumah,” tekad saya.

Hari H yang ditunggu-tunggu, saya kembali ke kantor polisi tsb, bertemu dengan peserta lain, ngobrol-ngobrol. Dia sudah tes prakek 3 kali dan tidak lulus-lulus. Dan menyaksikan bagaimana polisi berseragam sambil merokok menawarkan bantuan pengurusan SIM kepada masyarakat yang datang… benar-benar menjijikkan.

Untuk lebih meyakinkan, saya ngobrol-ngobrol dengan beberapa orang/pedagang yang ada di sana, semuanya bilang bayar aja mas… nggak bakalan lulus.

Memang susah. Saya menghadap polisi yang katanya atasan H di ruangannya yang sempit, Saya benar-benar merasa dijajah. Bayar Rp 150.000 untuk bisa dinyatakan lulus praktek. Hati saya mengatakan jangan bayar… tapi saya tidak berdaya dan tidak punya waktu untuk bolak-balik lagi. Saya serahkan uangnya dan pak polisi bilang ikhlas saya. Saya mengangguk lemah seraya menyumpah dalam hati semoga uang itu menjadi penyakit bagi dia dan keluarganya.

Bayar semuanya menjadi lancer! Provos apakah tidak melihat praktek yang terang-benderang ini? Tinggal geledah laci-laci.

HS

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement