Senin 22 Jul 2013 14:11 WIB

Bolehkah Istri Ambil Sendiri Uang Suami?

Suami istri membicarakan hak dan kewajiban masing-masing/ilustrasi
Foto: flickr.com
Suami istri membicarakan hak dan kewajiban masing-masing/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Bagaimana sebetulnya hubungan suami dan istri dalam kaitan dengan kewajiban mencari nafkah. Bolehkah seorang istri yang tidak bekerja mengambil sendiri uang suaminya karena belanja yang diberikan suami tidak cukup? 

 

Jawaban:

Islam mewajibkan suami memberi nafkah untuk istri dan anak- anaknya sesuai dengan kemampuannya. Bila sang suami memiliki kemampuan material, tetapi yang diberikan kepada sang istri tidak memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan anak-anaknya yang wajar, maka tidaklah berdosa sang istri bila mengambil uang suaminya dalam jumlah yang wajar - walaupun tanpa sepengetahuannya. Demikian fatwa Rasul kepada seorang istri yang suaminya kaya tapi kikir.

Dari sisi lain Alqurthuby ketika menafsirkan Q.S. Annisa' 4:34 menjelaskan bahwa ayat tersebut dengan sangat jelas menginformasikan bahwa suami memperoleh hak kepemimpinan karena ia menafkahkan hartanya guna kebutuhan hidup istri (dan anak-anaknya) sehingga jika ia tidak mampu/atau mengalami kesulitan memenuhi kewajiban ini, maka sang istri dapat menuntut faskh ( cerai). Demikian itu pandangan mazhab Malik dan Syafi'.

Dari segi hukum istri tidak berkewajiban sedikit pun untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan keluarga, walaupun ia memiliki kemampuan material, tetapi dari segi pandangan moral dan esensi kehidupan rumah tangga, suami istri dituntut agar bekerja sama guna menciptakan keluarga sakinah dan harmonis, yang antara lain lahir dari pemenuhan kebutuhan hidup. Suami dan istri masing-masing dinamai Alquran ''pakaian '' . Mereka (istri-istri) adalah pakaian untuk kamu (suami-suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka (Q.S.Albaqarah 2 :187). Karena itu kerja sama dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga - khususnya saat suami dalam kesulitan - merupakan tuntunan agama.

Sekian banyak riwayat yang menjelaskan bahwa istri para sahabat Nabi seringkali membantu suami dalam pekerjaan-pekerjaan berat. Tentu saja suami diharapkan pengertiannya serta ''terima kasihnya'' atas budi baik sang istri itu, karena jika mengikuti pendapat Ibnu Hazem, istri berhak menerima dari suaminya pakaian jadi dan makanan yang sudah siap, bahkan Alquran mengisyaratkan bahwa jika sang istri meminta upah untuk menyusukan anaknya, maka suami hendaknya memenuhi permintaan itu.

Suami adalah pemimpin rumah tangga, namun kepemimpinan itu bukan berarti kesewenang-wenangan. Q.S. Annisa' 4:19 berpesan kepada para suami, gaulilah mereka (istri-istri kamu) dengan baik. Alquran juga menekankan bahwa para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf (Q.S. Albaqarah 2 :228).

Maksudnya, istri mempunyai hak dan kewajiban terhadap suami sebagaimana suami pun mempunyai hak dan kewajiban atas istrinya. Redaksi ayat memang hanya menyebut istri karena yang ingin ditekankan Alquran adalah hak para istri yang sering diabaikan suami, bukan sebaliknya. Salah satu hak istri adalah menyampaikan pendapatnya walaupun tidak sejalan dengan pendapat suaminya. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Umar Ibnu Alkhattab berkata: Kami - suku Quraisy di Mekkah - tadinya mengalah kan istri- istri kami, dan ketika kami bergaul dengan Anshar ( kaum muslimin di Madinah) kami menjumpai mereka dikalahkan oleh istri-istri mereka. istri-istri kamipun mengikuti cara (wani ta) Anshar. Maka aku pernah besuara keras terhadp istriku, lalu dia membantahku, maka aku mengecamnya tetapi dia berkata mengapa engkau mengecamku karena tidak setuju dengan pendapatku. 

Demi Allah, istri-istri Nabi pun menolak pendapatnya (berdiskusi de ngannya), bahkan boleh jadi salah seorang di antara mereka meninggalkan Nabi (tidak mengajaknya berbicara karena marah). Hal ini - lanjut Umar - mengagetkan aku, dan aku pergi bertanya kepada Hafsah (istri Nabi sekaligus putrinya) tentang kebenaran informasi tersebut dan dia membenarkannya.

Jangankan istri, anak pun tidak boleh dipaksa dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak individualnya. Di sisi lain jangankan perbedaan pendapat dalam bidang kehidupan sehari-hari, dalam bidang keyakinan agama pun istri tidak boleh dipaksa oleh siapa pun termasuk oleh suaminya untuk mengikuti salah satu pendapat. Bahkan istri yang menganut ajaran Nasrani tetap harus diberi kebebasan oleh suaminya untuk melaksanakan ajaran agamanya.

Tentu saja ini bukan berarti bahwa sang istri terbebaskan dari kewajibannya, antara lain bertanggung jawab dalam rumah tangga, mengasuh anak serta memenuhi kebutuhan biologis suaminya. Suami dan istri masing-masing mempunyai kewajiban, tetapi bila suami mengabaikan kewajibannya atau memerintahkan sesuatu yang melanggar agama atau menuntut sesuatu yang merupakan hak individu sang istri, maka tidaklah berdosa bila sang istri menolaknya.

sumber : Konsultasi Quraish Shihab
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement