Selasa 07 May 2013 10:18 WIB

Jangan Mudah Dirayu Iklan Susu Formula, Ini Alasannya

Rep: Siwi Tri Puji/ Red: Endah Hapsari
Susu formula (ilustrasi)
Foto: www.tanyadokteranda.com
Susu formula (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Docosahexaenoic Acid alias DHA kerap dijadikan bintang promosi karena diyakini mampu mendongkrak tumbuh kembang otak dan retina. Benarkah? Sejatinya, Omega 3, Omega 6, serta Omega 9 -- yang sebetulnya sama saja dengan DHA.

Untuk susu bayi 0 - 6 bulan, 'senjata' andalannya adalah laktoferin, zat yang hanya ada dalam ASI (Air Susu Ibu) untuk kekebalan bayi.

Zat yang kedengarannya baru itu sebetulnya 'barang lama'. DHA dan saudaranya, eicosapentaenoic (EPA), menrupakan asam lemak Omega -3 yang merupakan jenis asam lemak tak jenuh rantai panjang. Berbeda dengan asam lemak non-esensial yang dapat diproduksi sendiri oleh tubuh, asam lemak ini harus disuplai dari luar tubuh. Sumbernya bisa macam-macam. Misalnya ikan laut sebangsa sarden atau salmon.

Susu formula bukan satu-satunya, karena di sini sifatnya pun hanya ditambahkan, bukan alami ada dalam susu itu.

Saat ini, susu formula bayi memang didesain seilmiah mungkin. Bahkan jika perlu, dibuat menyerupai atau mengungguli ASI baik dalam kandungannya maupun performanya. Tapi bagaimana pun, seperti dituturkan Utami Rusli, dokter anak yang juga penggiat ASI, tidak mungkin susu formula sama persis dan sempurna seperti ASI. Zat-zat yang diconteknya, menurut Utami, boleh sama atau bahkan lebih unggul. ''Tapi kemampuannya untuk diserap usus bayi, nanti dulu,'' ujarnya.

Menurut Utami, ASI dibuat dengan komposisi sedemikian rupa sehingga semua zat yang terkandungnya terserap sempurna oleh usus bayi. Zat-zat yang terkandung di dalamnya pun, adalah zat-zat yang memang diperlukan untuk tumbuh kembang bayi secara optimal. Itu sebabnya, kata Utami, penambahan DHA dalam susu formula bayi belum tentu efektif. Pasalnya, DHA dan laktoferin dalam ASI dilengkapi dengan zat yang membuat kedua bahan ini terserap sempurna oleh usus bayi. Tidak demikian dengan susu formula. Pada susu ini, tidak ada satu zat pun yang mampu 'memaksa' usus bayi untuk menyerap sempurna bahan tersebut.

Begitu juga zat besi dalam susu formula. Kendati zat besi vital bagi bayi untuk mencegah anemia dan -- lagi-lagi -- mendukung kecerdasan otak, namun susu formula bayi berzat besi tinggi tidak selamanya bagus untuk bayi. ''Jika zat besi dalam ASI kendati sedikit tapi diserap sempurna oleh usus bayi, tidak demikian dengan susu formula,'' ujar Utami.

Akibatnya, zat besi yang tidak terserap itu akan tertinggal dalam usus bayi. Penimbunan zat besi yang terus menerus, menurutnya, merupakan media yang 'empuk' bagi bakteri. Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan usus yang dihuni banyak bakteri.

Menurut Utami, hampir semua iklan susu yang ditanggapi secara 'serius' oleh konsumen. Sehingga, proses yang terjadi kemudian bukan sekedar pengenalan produk tapi 'pembodohan' konsumen. Ia mencontohkan seorang karyawati yang mengeluhkan gajinya tidak cukup untuk membeli susu kaleng anaknya. ''Saat saya tanya ada apa dengan ASI-nya, ia jawab ASI saja tidak cukup untuk membuat anak cerdas karena tidak mengandung DHA,'' ujarnya sambil geleng-geleng kepala.

Di atas usia enam bulan, katanya, tanpa susu pun tidak masalah, asal asupan gizinya memadai. Hanya saja, di Indonesia terjadi pengertian yang salah kaprah. Dalam piramida gizi yang disosialisasikan, susu menduduki tempat utama sebagai penyempurna. ''Padahal kalau di negara maju, kedudukan susu sejajar dengan bahan makanan lain,'' ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement