Rabu 21 Jun 2017 15:10 WIB

Ada Risiko Berbahaya di Balik Kentang Goreng

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Esthi Maharani
Kentang goreng
Foto: Independent
Kentang goreng

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siapa yang tak suka kentang goreng. Rasanya yang gurih dan lezat membuat hidangan ini cocok disajikan mendampingi berbagai hidangan lezat lainnya. Namun, di balik rasanya yang lezat, kentang goreng dikatakan menyimpan risiko yang berbahaya.

Hasil studi yang dipublikasikan dalam American Journal of Clinical Nutrition menunjukkan bahwa kebiasaan mengonsumsi kentang goreng dapat meningkatkan risiko kematian dini. Hanya dengan mengonsumsi kentang goreng minimal dua kali dalam seminggu, risiko kematian dini dapat meningkat dua kali lipat.

Hal ini diketahui setelah tim peneliti memantau 4.440 partisipan berusia 45-79 tahun selama delapan tahun. Seluruh peserta dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan seberapa seringnya mereka mengonsumsi kentang dalam satu minggu.

Setelah menganalisa data dari tiap-tiap grup, tim peneliti menemukan bahwa kelompok yang mengonsumsi kentang goreng sebanyak dua sampai tiga kali dalam seminggu memiliki risiko kematian dini dua kali lebih besar dibandingkan kelompok yang tidak mengonsumsi kentang goreng. Kentang goreng yang dimaksud ialah semua jenis sajian kentang yang diolah dengan cara digoreng mulai dari french fries, keripik kentang hingga hash browns.

"Dan semua sajian kentang yang dimasak dengan cara digoreng," ungkap kepala peneliti Dr Nicola Veronese dari national Research Council di Padova, Italia, seperti dilansir CNN.

Dalam penelitian ini, Veronese mengatakan usia dan jenis kelamin tidak mempengaruhi risiko yang ditimbulkan dari kebiasaan mengonsumsi kentang goreng. Akan tetapi, kelompok pria dan kelompok usia muda cenderung lebih rentan terhadap risiko karena mereka lebih sering mengonsumsi kentang goreng.

Veronese mengatakan penelitian ini merupakan studi observasi di mana tujuan penelitian ini adalah menemukan hubungan antara sebuah kebiasaan dan faktor risiko. Oleh karena itu, hasil penelitian ini belum cukup untuk menyimpulkan bahwa konsumsi kentang goreng adalah penyebab langsung terjadinya kematian dini.

"Meski ini studi observasi, kami meyakini minyak yang tinggi akan lemak jenuh merupakan faktor penting dalam menjelaskan (risiko) kematian pada mereka yang mengonsumsi kentang goreng," terang Veronese.

Veronese mengatakan lemak jenuh dalam minyak dapat meningkatkan kadar kolesterol jahat atau LDL dalam darah. Kondisi ini pada akhirnya dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular yang mematikan.

Di samping itu, Veronese juga mengungkapkan adanya beberapa faktor penting lain yang juga berperan dalam risiko kematian dini pada orang-orang yang gemar mengonsumsi kentang goreng. Faktor-faktor tersebut ialah obesitas, gaya hidup sedenter dan juga tingginya garam yang digunakan dalam kentang goreng.

Tim peneliti mengungkapkan bahwa risiko kematian dini hanya ditemukan pada orang-orang yang mengonsumsi kentang goreng. Risiko serupa tidak ditemukan konsumsi kentang yang diolah dengan cara lain selain digoreng.

Potensi berbahaya yang tersimpan dalam makanan berzat tepung yang digoreng seperti kentang goreng ialah akrilamida. Ahli gizi terdaftar dari Northwell Health di Huntington Hospital, Stephanie Schiff, mengatakan akrilamida merupakan zat kimia yang muncul ketika makanan berzat tepung seperti kentang diolah dengan cara digoreng, dibakar atau dipanggang dalam suhu tunggi.

"Anda bisa menurunkan asupan akrilamida dengan cara merebus atau mengkukus makanan berzat tepung, alih-alih menggorengnya," tambah Schiff.

Sekalipun ingin menggoreng makanan berzat tepung seperti kentang, proses menggoreng harus dilakukan dengan cepat. Schiff juga menyarankan agar kentang yang digoreng tidak sampai berubah warna terlalu cokelat.

"Semakin gelap makanan, semakin banyak akrilamida yang mungkin terkandung di dalamnya," jelas Schiff.

Mengingat tingginya konsumsi kentang goreng, tim peneliti berharap agar hasil studi ini dapat menjadi 'alarm' bagi para pecinta kentang goreng. Konsumsi kentang goreng sebaiknya dibatasi karena kebiasaan tersebut bisa menjadi faktor risiko penting dalam kematian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement