Selasa 28 Apr 2015 19:32 WIB

Surabaya Siap Jadi Pusat Rujukan Stroke Nasional

Rep: Andi Nurroni/ Red: Indira Rezkisari
Penderita penyakti stroke dirawat di rumah sakit.
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Penderita penyakti stroke dirawat di rumah sakit.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA — Para dokter bedah saraf di Surabaya berkomitmen untuk menjadikan Kota Surabaya sebagai pusat rujukan penyakit-penyakit syaraf, termasuk stroke. Demi mewujudkan cita-cita tersebut, para dokter yang tergabung dalam wadah Surabaya Neuroscience Institute atau SNei menggelar koordinasi dengan DPRD Surabaya.

Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi D DPRD Surabaya, Selasa (28/4), para dokter meminta menyampaikan sejumlah hal. Mewakili rekan-rekannya, dr Eko Agus Subagio menyampaikan, saat ini, dokter-dokter bedah syaraf di Surabaya dalam posisi siap bersaing dengan dokter-dokter dari negara lain.

Ia menggambarkan, Surabaya Neuroscience Institute  atau SNei yang menaungi 19 ahli bedah syaraf telah memiliki sejumlah anggota dengan reputasi internasional. Ia mencontohkan, salah satu anggot SNei, dr Achmad Fahmi, merupakan satu-satunya pakar parkinson di Asia Tenggara.

Ke-19 ahli bedah syaraf yang saat ini bergabung di dalam SNei, menurut  Eko, tersebar di 18 rumah sakit di Surabaya yang berafiliasi dengan SNei. “Pelayanan kesehatan di dalam negeri, khususnya di Surabaya kini tidak kalah dibandingkan dengan luar negeri. Di Surabaya juga banyak rumah sakit yang telah memiliki alat-alat canggih,” ujar Eko.

Ahli bedah syaraf SNei, dr Asra Al Fauzi menyampaian, saat ini, ahli bedah saraf di Surabaya membutuhkan sinergi dan dukungan pemerintah setempat. Dukungan, menurut Asra, terutama dalam mempromosikan kesehatan bagi masyarakat dan penyediaan fasilitas kesehatan.

Menurut Asra, salah satu penyakit syaraf yang saat ini paling luas diderita masyarakat adalah stroke. Ia menggambarkan, stroke telah menjadi penyebab kematian nomor satu di Indonesia, mengalahkan penyakit jantung dan kanker. “Setiap satu dari seratus orang di Indonesia berpotensi terkena serangan stroke,” ujar Asra.

Untuk itu, menurut Asra, pemerintah harus memberikan edukasi dini terhadap masyarakat soal stroke. Pasalnya, menurut Asra, selama ini, hampir semua pasien stroke yang dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi terlambat. Ia menjelaskan, sejak gejala stroke terjadi, di antaranya bibir kaku dan lidah kelu, penderita hanya memiliki waktu empat jam. “Saat stroke, aliran darah ke otak terhenti, dan setelah empat jam, kerusakan permanen tidak bisa dihindari,” kata Asra.

Terkait dengan fasilitas, menurut Asra, teknologi bedah syaraf lebih banyak dimiliki rumah sakit swasta. Untuk rumah sakit pemerintah sendiri, menurut dia, baru tersedia di RSUD dr Sutomo, yang kini sudah sangat kelebihan pasien. Ia berharap, Pemkot Surabaya dapat menambah alat berupa CT Scan dan MRI di rumah sakit pemerintah daerah lainnya, yakni RS Soewandi dan RS Bhakti Dharma Husana.

Ketua Komisi D DPRD Surabaya Agustin Poliana menyampaikan, ia berkomitmen untuk menjembatani aspirasi para ahli bedah saraf. “Dalam hal dukungan fasilitas, dengan APBD Rp 7,3 triliun, harusnya Pemkot Surabaya bisa mendukung,” ujar Agustin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement