Rabu 02 Jun 2010 03:53 WIB

Bau Badan Bisa Picu Bunuh Diri?

Rep: cr2/ Red: Ririn Sjafriani
ilustrasi
Foto: corbis
ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK--Jangan anggap remeh bau badan tak sedap, bahkan untuk diri Anda sendiri. Terutama untuk individu yang bermasalah dengan indera penciuman atau sindrom referensi (delusi) indera penciuman bakal menjadi persoalan serius.

Begitu serius, hingga akhirnya kalangan psikiatri di AS mempertimbangan apakah harus memiliki standar operasi berbeda dalam buku manual diagnostik dan statistik manual dari gangguan mental.

Peneliti dari Brown University, Rhode Island, Dr. Kathrine Philips mengatakan gangguan itu memang sangat rahasia dan tersembunyi, dan kebanyakan pasien cenderung malu pada diri mereka sendiri.  "Saya telah begitu terkejut dengan penderitaan yang dialami pasien saat mendengar pengalaman mereka," tukasnya seperti dikutip dari reuters, Kamis (16/5).

Phillips menyebut dua pertiga dari pasien berniat bunuh diri. Kebanyakan dari mereka merupakan individu yang tidak pernah keluar dari rumah, mereka menyembunyikan diri, mandi dan membersihkan baju secara berulang. "Mereka malu untuk keluar, mereka khawatir dengan nafas, bau ketiak dan kelaminnya," ungkap Phillips.

Celakanya, kata Phillips, tidak satupun masyarakat yang mengerti soal penyakit ini. Menurutnya, kebanyakan masyarakat hanya sekedar menebak penyakit itu tapi tidak mengetahuinya. Ia menduga, faktor isolasi dari pasien yang menyebabkan sebagian masyarakat tidak mengetahui hal itu.

Philips berasumsi, kelaian indera pendengaran atau delusi terbentuk ketika seseorang beranjak remaja. Kebanyakan dari pasien Philips telah mencoba berbagai terapi baik medis ataupun non medis. sayangnya tidak berhasil.

"Saya pikir, perlu ada riset lebih lanjut untuk mengetahui cara menyembuhkan kelainan ini," harapnya.

Pada studi sebelumnya, medio tahun 1970, mencatat 5 persen individu yang mengalami kelainan ini melakukan aksi bunuh diri. Angka ini jauh melebihi jumlah individu yang bunuh diri akibat gangguan kejiwaan.

sumber : reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement