Rabu 13 Mar 2019 20:56 WIB

Ironi Pendidikan, Siapa yang Salah?

Para siswa kini rapuh dalam memahami lingkungan sekitar

Pendidikan/Ilustrasi
Foto: Antara
Pendidikan/Ilustrasi

Pada Februari lalu ada kejadian menarik di ruang kelas yang saya ajar. Saat itu, saya sedang menerangkan tentang kebijakan – kebijakan Presiden Soeharto di zaman orde baru kepada siswa kelas IX di sebuah sekolah pedalaman eks pemukiman transmigrasi.

Saya menanyakan kepada siswa tentang pengertian transmigrasi. Namun, dari 20 siswa yang ada di kelas tersebut tak ada satupun siswa yang dapat menjawab dengan benar. Padahal, mereka adalah anak dan cucu transmigran. Meskipun, sebagian ada yang bukan cucu transmigran, melainkan pendatang.

Baca Juga

Tidak hanya itu, beberapa siswa juga tak mengenal darimana orang tua mereka berasal. Yang mereka tahu hanya kenyataan sekarang. Bahwa, mereka hidup di desa pedalaman Kalimantan Tengah.

Cerita diatas adalah ironi pendidikan. Entah siapa yang bersalah atas kejadian ini.

Hanya menyalahkan orang tua yang telah meninggalkan tradisi cerita lisan bukanlah sebuah kearifan. Menyalahkan guru yang mengajar juga bukan sebuah kebaikan. Apalagi, menyalahkan pemerintah yang menyusun konsep dan struktur pendidikan.

Yang terpenting, sumber masalah dari cerita diatas adalah belum atau tidak sampainya informasi tentang  pengertian transmigrasi dan asal muasal nenek moyang mereka. Ini penanda mereka rapuh dalam memahami lingkungan sekitar. 

Sebagai seorang guru, saya takut kenyataan ini adalah sedikit potret dari realitas pendidikan nasional kita. Ruang kelas di sekolah – sekolah yang lain mengalami hal yang sama. Siswa zaman now miskin pengetahuan tentang lingkungan sekitar.

Jika itu yang terjadi, bahaya besar sedang menanti. Siswa sebagai cermin generasi masa depan telah kehilangan jati diri. Ketika didiamkan, bencana besar sedang menanti. Kearifan lokal negeri ini akan dimakamkan lebih dini.

Sebagai seorang guru yang tinggal di pedalaman terisolir dan sulit sinyal, saya hanya menyumbang saran. Untuk teman sejawat guru, mari kita tidak meninggalkan pembelajaran berbasis kearifan lokal. Kita ajak siswa mengenal diri dan lingkungan budayanya. Kita motivasi siswa untuk menjadikan lingkungan sebagai sumber belajar yang utama. Misalnya, daerah kami kaya akan ikan haruan yang liar di sungai – sungai. Maka, siswa kita ajak untuk berpikir dan bertindak tentang bagaimana melestarikan dan mengolah ikan itu. Sehingga, ikan itu tidak punah dan bernilai ekonomis lebih tinggi. Contohnya, pemberdayaan ikan haruan di pekarangan rumah dan pembuatan nugget haruan.

Dalam bidang budaya/ bahasa, kita ajak siswa kita berbahasa daerah. Misalnya, dipagi hari kita jemput siswa di pintu gerbang sekolah seraya menanyakan kabar dengan bahasa daerah (Jawa, Dayak, Banjar), sesuai dengan lingkungan siswa.

Saya berkeyakinan, langkah ini akan mendapat apresiasi dari pemerintah dan masyarakat. Secara tidak langsung, ini adalah bagian menjawab ironi pendidikan. Bahkan, menjadikan pendidikan kita kuat dan budaya kita semakin maju.

Budaya kita menjadi maju karena ada kemasan kreatif mengenalkan budaya  seperti melestarikan ikan dan mengolah haruan. Ingat, budaya tidak hanya unsur seni, tetapi juga mata pencaharian. Sekolah menjadi kuat karena apresiasi pemerintah dan masyarakat. Lebih dari itu, siswa kita bukan siswa yang rapuh. Mereka mampu mengenal, beradaptasi, dan mengembangkan potensi lingkungan sekitar. 

Penulis: Saiful Rohman SPd, Guru SMPN 4 Katingan Kuala Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement