DPR Ungkap Sepanjang 2017 Kemiskinan Tumbuh Subur

Selasa , 02 Jan 2018, 14:28 WIB
Kemiskinan, ilustrasi
Foto: Pandega/Republika
Kemiskinan, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Heri Gunawan menyampaikan bahwa kemiskinan tumbuh subur sepanjang 2017. Menurutnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, per Maret 2017 jumlah orang miskin bertambah 6.900 jiwa. Ini menjadi catatan penting bagi pemerintah dalam bidang ekonomi menyambut tahun 2018.

Dengan tambahan jumlah orang miskin itu berarti jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2017 menjadi 22,77 juta jiwa atau 10,64 persen. Sambung Heri, Angka kemiskinan 2017 ternyata lebih tinggi daripada 2016 yang mencapai 27,76 juta jiwa. Hal ini sekaligus sebagai refleksi menyambut 2018. Akar masalah bertambahnya angka kemiskinan tidak lain sistem ekonomi yang digunakan pemerintah.

 

"Sistem itu tidak hanya gagal mengentaskan kemiskinan tapi juga memiskinkan. Pemerintah sering bersembunyi di balik statistik yang acuannya sering jadi polemik, sering salah tafsir, dan bahkan menyesatkan," ujar Politikus Partai Gerindra ini, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (2/1).

 

Sementara, angka ketimpangan masih bertengger di kisaran 0,39. Ini adalah angka berstatus wapada. Dengan kata lain, sistem ekonomi yang dijalankan selama ini masih belum mampu menciptakan pemerataan. Heri berpendapat, postur APBN yang terus defisit dari tahun ke tahun masih tak bisa diterjemahkan menjadi kesejahteraan bagi rakyat banyak. Faktanya, hanya ada satu persen orang yang menguasai 39 persen pendapatan nasional. Lebih dari itu, tak lebih dari 2 persen orang telah menguasai lebih dari 70 persen tanah di Republik ini.

 

"Ekonomi kita tidak dinikmati oleh rakyat banyak. Angka di kuartal III yang mencapai 5,06 persen tak menggenjot daya beli sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dari 4,95 persen menjadi 4,93 persen," tambahnya.

 

Ditambahkannya, daya beli masyarakat yang tertekan juga berimbas pada penurunan kinerja industri ritel yang hanya mampu tumbuh di angka 5 persen dan industri barang konsumsi kemasan hanya tumbuh 2,7 persen. Heri mengutip hasil survei Nielsen, menyebutkan bahwa pertumbuhan tersebut merupakan yang terendah dalam lima tahun terakhir.

 

Lanjut Heri, ini menjadi bukti bahwa sistem ekonomi yang dijalankan pemerintah belum memenuhi amanat konstitusi untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Apalagi, kata Heri, ambisi pemerintah membangun infrastruktur masih tercium di dalamnya jejak mengorbankan sektor lain. Bahkan, sebagian dibiayai lewat skema utang yang ujungnya berdampak pada defisit anggaran.

 

"Pemerintah harus sadar bahwa defisit cenderung meningkat. Penyebabnya adalah realisasi belanja rata-rata tumbuh di kisaran lima persen, sementara realisasi pendapatan negara hanya tumbuh di kisaran tiga persen," katanya.

 

Oleh karena itu, Heri berharap pemerintah harus prudent mengelola belanja dan utang. Apalagi, kata Heri, sepertinya pemerintah akan menggantungkan sepenuhnya pembiayaan pembangunan dari sektor keuangan.