Pemerintah Diminta Lengkapi Konten Aturan Penyadapan

Senin , 17 Jul 2017, 12:42 WIB
Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafi’i.
Foto: DPR
Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafi’i.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (Pansus RUU) Terorisme DPR meminta kepada Pemerintah agar konten aturan penyadapan dalam RUU itu dilengkapi. Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafi’i mengatakan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) No. 72 Pasal 31 tentang Penyadapan yang telah disepakati oleh DPR dan Pemerintah itu diminta dilengkapi, agar aturan terkait penyadapan terduga teroris tidak menyalahi aturan yang berlaku.

 

“Itu penyadapan kita sepakati, namun kontennya kami serahkan penyempurnaannya kepada pemerintah,” kata dia, Kamis (13/7).

Syafi’i menjelaskan, pasal tentang penyadapan pada RUU Terorisme, tidak lembaga yang mengizinkannya, lama waktu penyadapan dan pertanggungjawabannya, serta persyaratan penyadapannya. Padahal dalam UU yang sudah existing, izin penyadapan jelas dari Pengadilan Negeri, dengan adanya batas waktu penyadapan hingga satu tahun, dan melaporkan hasil penyadapan kepada penyidik dan Menekominfo.

 

Politikus F-Gerindra itu menambahkan, merujuk pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), adanya aturan penyadapan selain harus diatur dalam peraturan perundang-undangan, tidak boleh di bawah level UU mengaturnya. Hal ini pun sesuai dengan Putusan MK N0. 5 Tahun 2010.

 

Ada hal-hal yang harus dipenuhi, misalnya spesifikasi alat perekam, tujuan merekam, identitas yang merekam, dan kapan pelaksanaannya. Kemudian rekaman tidak boleh ditunjukkan kepada siapapun, tidak boleh dibocorkan dengan alasan apapun, disewakan dan diperjualbelikan

 

“Akhirnya karena merujuk pada putusan MK, apa yang di muat oleh RUU itu belum memadai. Pemerintah sepakat merekonstruksi ulang pasal itu, yang kemudian akan dibawa pada saat konsinyering,” kata Anggota Komisi III DPR itu.

 

Kemudian, kata Syafi’i, pada DIM No. 80 Pasal 33 terkait perlindungan terhadap saksi, pelapor, ahli, hakim, advokat, penyidik, termasuk petugas lapas, pihaknya tidak sepakat jika hal itu diatur sebanyak-banyaknya dalam Peraturan Pemerintah. Mmenurutnya, kalau bisa sebanyak-banyaknya di atur dalam RUU.

 

“Karena banyak pengalaman jika menunggu PP, memperjuangkannnya UU-nya sudah berdarah-darah, kemudian tidak dilaksanakan, karena belum ada PP. Kita sepakati, semua yang sudah dilindungi UU lain, misalnya saksi, pelapor, ahli, sudah dilindungi UU N. 31 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, untuk tidak diatur lagi,” kata Syafi’i.

 

Politikus asal dapil Sumatra Utara itu memastikan, saat ini tersisa 32 DIM lagi untuk dibahas lagi. Namun, hal itu hanya terangkum dalam empat pasal. Ia optimis, RUU ini akan segera selesai.