Pemindahan Ibu Kota Sulit Dilaksanakan

Jumat , 07 Jul 2017, 18:41 WIB
Anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo Soekartono
Foto: humas DPR
Anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo Soekartono

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wacana pemindahan Ibu Kota ke Palangkaraya sulit dilaksanakan. Selain infrastruktur perekonomian yang terpusat di Jawa, 60 hingga 70 persen penduduk Indonesia tersebar di pulau ini. Perpindahan tersebut tidak hanya memakan waktu yang cukup lama tetapi juga membutuhkan anggaran yang fantastis, ditengah lesunya perekonomian Indonesia saat ini.

Demikian ditegaskan Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono menanggapi rencana pemerintah memindahkan Ibu Kota negara ke Palangkaraya, saat ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Kamis (7/6). "Pemindahan Ibu Kota itu sulit dilaksanakan, karena masyarakat dan stakeholder-nya terpusat di Pulau Jawa, sehingga kalau dipindahkan Ibu Kota ini, pemerintahan juga akan pindah kota ke sana," ungkap Bambang.

Ia menilai, perpindahan dari Jawa ke Kalimantan, bukannya menumbuhkan tetapi justru menggerus ekonomi negara. Sebab, akan menambah beban negara untuk pembangunan infrastruktur baru. Selain itu, dampaknya kepada masyarakat pun signifikan. Masyarakat harus mengeluarkan biaya ekstra untuk melakukan pengurusan surat-surat yang berhubungan dengan perizinan dari pemerintah pusat.

"Kita mau berenang juga enggak bisa, mau naik burung juga enggak bisa, apalagi mau terbang sendiri. Satu-satunya, ya, naik pesawat. Padahal, kita lihat pesawat ke Jakarta saja sudah overload. Kalau dulu sudah diwacanakan di era Soekarno, kemudian langsung dilakukan masih bisa. Sekarang, penduduk di Jawa lebih dari 170 juta jiwa, mau dipindahkan gimana, ekonomi makin memble,” kritik anggota Komisi VI ini.

Selanjutnya, ia menambahkan, jika pemerintah bersikukuh memindahkan ibu kota, maka sebaiknya dilakukan ke daerah yang masih berada di Pulau Jawa. Misalnya, Jawa Timur atau Madura yang terletak tepat di sentral Indonesia. Sehingga perpindahannya tidak terlalu banyak dan mempermudah mobilitas masyarakat. “Sumatera juga ok, tetapi posisinya jauh dari Indonesia Timur,” imbuhnya.

Politisi dari Fraksi Gerindra ini juga berpandangan, ide pemisahan pusat bisnis dan pusat pemerintahan sudah ada sejak lama. Bahkan, di era Presiden SBY sudah ada master plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI. Di dalamnya ditetapkan enam koridor untuk pengembangan potensi ekonomi, yakni Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua-Maluku.

“Pertumbuhan ekonomi itu ada di semua wilayah Indonesia, sehingga tidak ada ketimpangan ekonomi lagi. Tapi, ternyata program ini tidak ditumbuhkan. Pada era Pak Jokowi, langsung ditutup begitu saja. Padahal, ini sudah melewati kajian yang cukup panjang dan mahal,” tandasnya.