Din Syamsuddin Kenalkan Pergerakan Indonesia Maju Kepada Ketua DPR

Jumat , 20 May 2016, 14:32 WIB
Ade Komarudin
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ade Komarudin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (PIM) Din Syamsuddin, bertemu dengan Ketua DPR RI Ade Komarudin. Dalam pertemuan yang berlangsung di ruang kerja Ade, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Din memperkenalkan Gerakan Nasional yang disebut Pergerakan Indonesia Maju, yang baru berdiri pada 4 April 2016.

Menurut Din, PIM merupakan gerakan masyarakat Indonesia yang berasal dari lintas agama, suku, profesi, dan gender. PIM mencoba Menggalang potensi kemajuan demi persatuan serta untuk ikut berpartisipasi memajukan bangsa.

Ia menuturkan, kemajemukan bisa menjadi faktor kelemahan yang membawa perpecahan. Tetapi bisa juga menimbulkan kebersamaan dan kekuatan untuk kemajuan bangsa.

''Karena itulah kami bersepakat mendirikan PIM. Dengan pengurus dewan nasional sebanyak 45 orang, dewan wilayah 8 orang, dewan daerah 17 orang, yang terdiri atas berbagai agama, suku, profesi,'' kata Din.

Pertemuannya dengan Akom, tidak lain agar PIM bisa bekerja sama dengan semua pihak, termasuk DPR, DPRD, maupun partai politik dan lainnya. Dalam pertemuan tersebut, Din menjabarkan empat program aksi unggulan dari PIM kepada Akom. ''Program tersebut adalah desa pintar, desa maju mandiri energi, percepatan literasi rakyat, dan rumah aladin (atap, lantai, dinding) untuk rakyat,'' ucap Din.

Ketua DPR RI Ade Komarudin mengaku setuju dengan filosofi dan tujuan dari gerakan PIM ini. Apalagi, kata dia, Din Syamsuddin merupakan dosennya semasa kuliah dulu.

''Kalau soal ideologinya kalau tidak bisa melawan kapitalisme, tapi kapitalisme yang baik hati. Pancasila itu kita isi dengan kapitalisme yang baik hati. Kalau yang jahatnya abad-19-nya yang berkembang biak dengan subur. Banyak UU seperti itu, terutama terkait dengan ekonomi,'' ucap Akom.

Menyangkut gerakan desa pintar, Akom mengatakan sudah berpikir ingin mencari waktu untuk pergi ke beberapa perpustakaan besar yang telantar, seperti Jogja, Bung Hatta, Buya Hamka, dan Tan Malaka yang hampir roboh. ''Kita harus menghormati tokoh besar yang cerdas-cerdas ini,'' katanya.