Senin 05 Oct 2015 19:11 WIB

Dikunjungi DPD, Ini Aspirasi Kabupaten Dekat Perbatasan RI-Malaysia

Rep: c14/ Red: Dwi Murdaningsih
Perbatasan RI-Malaysia di Entikong, Kalimantan Barat.
Foto: ISTIMEWA
Perbatasan RI-Malaysia di Entikong, Kalimantan Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, SANGGAU -- Hari ini (5/10), rombongan Komite I DPD RI melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Diketahui, setidaknya lima kecamatan dari Kabupaten Sanggau berbatasan langsung dengan Malaysia di sebelah utara.

Dipimpin anggota DPD dari Bali, Gede Pasek Suardika, rombongan menemui Bupati dan Wakil Bupati Sanggau di kantornya. Mereka terdiri atas para anggota Komite I DPD, yakni Syafrudin Atasoge (NTT), Rijal Sirait (Sumatera Utara), Eni Sumarni (Jabar), dan Robiatul Adawiyah (NTB). Kunjungan kerja ini dimaksudkan untuk inventarisasi materi RUU tentang perubahan atas UU Nomor 43/2008 tentang Wilayah Negara serta pelaksanaan UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Menurut Bupati Paolus Hadi, pemerintah dan legislatif pusat perlu mendengarkan aspirasi dari daerah-daerah perbatasan. Menurut dia, selama ini pembangunan di daerah perbatasan kurang memperhatikan kepentingan pemerintah daerah setempat, termasuk Kabupaten Sanggau. Pemerintah pusat sendiri, guna melaksanakan amanat UU No 43/2008, sudah membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Namun, ujar Paolus, badan tersebut kurang bekerja efektif.

"BNPP itu seperti punya otoritas sendiri di situ (daerah perbatasan). Padahal, itu kabupaten. Menurut saya, memang harusnya bupati di sana (lebih dominan). Mengapa hal-hal seperti itu enggak dipercayakan ke kabupaten?" kata Paolus Hadi di Kantor Bupati Sanggau, Senin (5/10).

Dia lantas mempertanyakan kecenderungan pemerintah pusat untuk melakukan sentralisasi secara setengah hati. Misalnya, terkait masalah kependudukan, pendidikan dasar dan menengah, serta pertanahan. Dia meminta kepada DPD RI agar menyuarakan hal ini saat proses legislasi. Paolus mencontohkan beberapa hal yang sebaiknya langsung diambil kewenangannya oleh pemerintah pusat.

Dia menyebutkan, misalnya unit layanan pengadaan barang dan jasa. Menurut Paolus, sebaiknya kewenangan unit tersebut diambil oleh pemerintah pusat. Hal tersebut, bila diwujudkan, justru akan meminimalkan rasa takut para kepala daerah dalam mencairkan anggaran.

"Kami SDM kurang. Untuk mencari yang lulus dan punya sertifikasi untuk bisa mengadakan barang dan jasa, sulit. Apalagi dengan sistem yang sekarang, banyak yang takut juga. Lebih baik, buat lembaga khusus pengadaan barang dan jasa di Indonesia," ujar dia.

"Kami (pemerintah daerah) memutuskan anggarannya saja. Karena itulah yang membuat Sanggau ini sekarang dari 32,27 persen (penyerapan) anggaran. Dari Rp 1,3 triliun." ungkap dia kemudian.

Menanggapi itu, Gede Pasek sepakat, bahwa pemerintah pusat perlu sepenuh hati dalam mendukung otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi di daerah-daerah, menurut Gede, kurang efektif lantaran pemerintah pusat. Gede juga mendukung penguatan peran pemerintah daerah di wilayah dekat perbatasan. Menurut Gede, keselarasan antara pusat dan daerah mesti diarahkan pada program-program yang lebih berdampak langsung, bukan proyek yang seringkali luput dalam memahami aspirasi rakyat daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement