Kamis 02 Dec 2010 01:34 WIB

'Kraton Yogyakarta Ibarat Bendera Merah Putih'

Rep: Yulianingsih/ Red: Djibril Muhammad
Keraton Yogyakarta
Foto: traveljournal.net
Keraton Yogyakarta

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Pakar budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Dr Heddy Shri Ahimsa Putra mengatakan, polemik yang terjadi antara pemerintah pusat (presiden SBY) dengan Yogyakarta (Kraton) berawal dari adanya perbedaan interpretasi antara kedua belah pihak tentang istilah monarkhi dan bukan.

"Ada satu hal yang sebenarnya terlupakan dalam masyarakat Yogyakarta, bahwa kraton itu merupakan bagian dari identitas Yogyakarta bagian dari budaya milik masyarakat Yogyakarta. Karena itu saya sangat mengerti jika masyarakat Yogyakarta marah. Ini bukan masalah politik tapi ini masalah budaya itu yang penting," tuturnya saat ditemui di UGM, Selasa (30/9) kemarin.

Karena merupakan identitas dan budaya Yogyakarta maka penetapan kepala daerah di Yogyakarta sudah menjadi sebuah tradisi yang diyakini dan diikuti sejak zaman Penambahan Senopati. "Masak tradisi yang sudah terbangun sejak zaman dahulu tiba-tiba akan dicerabut begitu saja. Ini akan menimbulkan reaksi keras," tegasnya.

Karena itu, pihaknya mengimbau pemerintah pusat agar memahami penetapan kepala daerah dakam Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) DIY dari dua sisi yaitu sisi sejarah dan sisi Kraton Yogyakarta sebagai sebuah identitas budaya yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat setempat.

"Ini menyangkut budaya, jika ini diganggu orang bisa berani mati untuk membelanya. Coba saja lihat saat Tari Pendet atau Reog Ponorogo di klaim Malayusia, bagaimana reaksi masyarakat kita," tambahnya.

Karena itulah, masalah RUUK DIY ini menjadi sebuah masalah yang serius sehingga pemerintah pusat juga harus menyikapinya secara arif. Pasalnya sebagai sebuah simbol atau identitas Kraton Yogyakarta bagi masyarakat Yogyakarta kata Heddy ibarat bendera merah putih atau Garuda Pancasila dengan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Jika itu diganggu maka akibatnya orang bisa marah. Dan kemarahan itu bentuknya macem-macem dari demonstrasi, memberontak atau mbalelo," jelasnya. Hal tersebut kata dia bisa saja terjadi pada masyarakat Yogyakarta.

Sri Sultan Hamengku Buwono X sendiri tidak mau berkomentar terkait polemik tentang RUUK DIY tersebut. Bagi Sultan dirinya sudah gamblang memberikan keterangan terkait hal itu beberapa hari lalu. "Saya tidak mau berkomentar, saya sudah memberi komentar kemarin dan itu cukup," tandasnya usai rapat penanggulangan banjir lahar dingin Merapi di Balaikota Yogyakarta.

Sultan sendiri siap dipanggil presiden SBY untuk membicarakan hal itu, tetapi saat ini pihaknya tidak akan memberikan komentar apapun termasuk reaksi masyarakat Yogyakarta terhadap sikap pemerintah pusat atas RUUK DIY. "Itu tanyakan masyarakat, silahkan saja masyarakat mau apa," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement