Ahad 06 Jun 2010 02:10 WIB

Jalan Tulus Pejuang Air Bersih dari Ponorogo

Red: irf
ILUSTRASI
ILUSTRASI

REPUBLIKA.CO.ID, PONOROGO--Jalan bebatuan yang terjal dan menanjak tak membuat langkahnya surut, sebaliknya, dia semakin gesit dan lincah melintasi celah jalanan yang terjal. Ya, kami terpaksa meninggalkan kendaraan roda empat yang kami tumpangi dan menggantinya dengan sepeda motor, karena jalan menuju kaki Bukit Lumbung, di Dusun Tanggung Rejo, Desa Karang Patihan, Balongan, Ponorogo tidak memungkinkan untuk dilalui.

"Di balik bukit itu sudah masuk daerah Pacitan," ungkap pria paruh baya itu dengan tetap menjaga keseimbangan sepeda motor yang dikendarainya. Sekali dalam sepekan, pria itu datang ke dusun yang jaraknya puluhan kilometer dari rumahnya. Tujuannya adalah memastikan warga mendapat air bersih dari bak penampungan yang sudah dibangun. Pria dengan jenggot tipis itu bernama Ahmad Thobroni (41), pegiat sosial yang sangat perhatian pada nasib masyarakat di sekitar kota Reog, Ponorogo.

Ketika Dompet Dhuafa menggulirkan program pengadaan air bersih bagi masyarakat Dusun Tanggung Rejo tiga bulan lalu, Thobroni termasuk orang yang berada di barisan depan, bahu-membahu bersama warga setempat mensukseskan program ini. Di wilayah yang berjarak 25 kilometer dari pusat kota Ponorogo ini, Dompet Dhuafa membangun sembilan bak penampungan air dengan kapasitas 1.500 liter air.

Dari sembilan bak besar itu, air dialirkan ke dua puluh bak penampungan yang berukuran lebih kecil. Sedikitnya 55 rumah bisa menikmati dan menerima manfaat dari program ini. "Kalau musim kemarau di sini sangat parah, tumbuh-tumbuhan mati semua dan warga harus memikul air sejauh dua kilometer hanya untuk mandi, cuci, dan kakus. Kini air bisa masuk ke rumah warga melalui bak-bak itu. Satu bak kecil untuk dua hingga tiga rumah," terangnya.

Mayoritas penduduk Dusun Tanggung Rejo adalah buruh tani. Mereka tidak memiliki lahan sendiri karena lahan di sekitar mereka tidak cocok untuk bercocok tanam. Sebagian warga hanya bisa mengandalkan ternak kambing yang jumlahnya tidak banyak. Sebagian lagi mencari kayu bakar dan tanaman obat di hutan sekitar rumah untuk kemudian dijual ke pengepul.

Yang sangat memprihatinkan, sebanyak 53 warga dari 44 kepala keluarga mengalami keterbelakangan mental. Latar belakang pendidikan mereka juga sebagian besar hanya sampai sekolah dasar.

Air yang mengalir ke rumah warga itu, kata Thobroni, berasal dari sumber air di salah satu tebing bukit. Setelah dibuat bendungan kecil, air dialirkan melalui pipa besi ke bak penampungan. Tugas Thobroni adalah untuk memastikan tidak ada sumbatan di sumber air, sehingga bak penampungan bisa tetap terisi dan masyarakat bisa memanfaatkan air bersih itu. Thobroni tidak sendiri, dia dibantu empat relawan lainnya yang juga peduli pada nasib warga dusun ini.

Beberapa tahun lalu ada satu lembaga swadaya masyarakat asing yang memberi bantuan air bersih, namun karena masyarakat tidak banyak terlibat, program itu menjadi sia-sia. Banyak bak penampungan yang kosong dan tidak berfungsi.

Belajar dari pengalaman itu, Thobroni dan teman-temannya mengajak masyarakat untuk berpartisipasi merawat dan menjaga penampungan air yang sudah ada. "Alhamdulillah, masyarakat mau diajak kerja sama, ada urunan untuk pemeliharaan," tandasnya.

Sebenarnya, selain bertugas memeriksa saluran air bersih, Thobroni dan teman-temannya juga aktif membina dan mendampingi warga dusun ini. Sejumlah kegiatan sosial seperti layanan kesehatan gratis, pengajian masyarakat, penyuluhan dan perbaikan gizi balita juga kerap mereka lakukan tanpa mengharap pamrih.

sumber : dompet dhuafa
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement