Jumat 25 Feb 2011 14:57 WIB

Soal Bea Masuk Bahan Baku Obat, Kemenkes Surati Kemenkue

Rep: Prima Restri Ludfiani/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kementrian Kesehatan segera menyurati Kementrian Keuangan untuk mencabut peraturan menteri keuangan (PMK) terkait pengenaan bea masuk untuk bahan baku obat. Karena pengenaan bea masuk tersebut dinilai memberatkan biaya produksi obat. ''Kami akan coba berbicara kepada menkeu agar tidak ada bea masuk bagi bahan baku obat,'' tutur Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih usai penandatanganan nota kesepahaman kerja sama bidang kesehatan dengan Menteri Kesehatan Malaysia di Jakarta, Jumat (25/2).

Kalau bisa, Ia mengharapkan, peraturan tersebut dibatalkan saja. Karena sebelumnya tidak ada pemberlakuan bea masuk bagi bahan baku obat. Meski saat Rapat Kerja Pemerintah bidang ekonomi di Bogor awal minggu ini, Endang mengaku sudah melakukan pembicaraan dengan Menkeu. Namun akan ada surat resmi. Saat ini Kemenkes sedang menyusun surat terkait permohonan untuk membatalkan pemberlakukan PMK tersebut.

Direktur Jenderal Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Sri Indarwaty mengatakan bahwa surat sudah disusun dan sudah diserahkan ke menkes sejak dua hari lalu. Mungkin saat ini, jelas dia, surat sedang dipelajari oleh menkes. Dan dalam waktu tak lama kemungkinan surat bisa segera dilayangkan ke menkeu.

Adanya PMK tentang bea masuk bahan obat ini pun sudah memberi dampak terhadap kenaikan harga beberapa obat di pasaran. Disebutkan bahwa sudah ada kenaikan harga sebesar 5 persen dan lebih pada beberapa merek obat. Oleh karena itu, terkait upaya pemerintah untuk membatalkan pengenaan bea masuk bahan baku obat inipun, Sri mengatakan bahwa pemerintah meminta kepada perusahaan obat untuk mengembalikan harga obat ke harga semula bagi yang sudah menaikkan.

"Perusahaan jangan mementingkan dari aspek bisnisnya saja tapi juga harus mempertimbangkan aspek sosial," tutur dia. Dan tidak menaikkan bagi yang belum menaikkan.

Bagi perusahaan yang sudah terlanjur untuk menaikkan harga obat, tambah Sri, diberi waktu sampai Maret 2011 untuk mengembalikan harga obat ke harga semula. Usai Maret 2001, Kemenkes akan melakukan pemantauan terhadap harga obat dan melihat implementasi penurunan harga bagi obat yang sudah terlanjur dinaikkan.

Digarisbawahi juga oleh Endang bahwa dari seluruh obat yang beredar di pasaran hanya 10 persen saja yang obat import. Sementara sisanya obat yang diproduksi di Indonesia.Tapi tak dipungkiri oleh dia bahwa meskipun obat diproduksi di dalam negeri harganya tetap mahal. "Seharusnya murah. Tapi nggak juga. Indonesia agak aneh karena banyak yang tidak mau membeli obat murah," tutur dia.

Di sisi lain, Endang memaparkan bahwa pemerintah ingin membentuk satu formularium yang cukup komprehensif terbatas terhadap jenis obat. Karena saat ini menurut dia terlalu banyak jenis obat yang beredar. "Satu jenis obat saja terlalu banyak merek yang beredar,'' tutur dia.

Endang menambahkan bahwa formularium yang berlaku beragam. Seperti Askes, Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan RSCM masing-masing memiliki formularium sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement