Tuesday, 7 Syawwal 1445 / 16 April 2024

Tuesday, 7 Syawwal 1445 / 16 April 2024

Bea Cukai Jaga Kewaspadaan Amankan Target Penerimaan 2019

Senin 19 Aug 2019 19:30 WIB

Red: Gita Amanda

Bea Cukai mencatatkan kinerja positif di Semester I 2019.

Bea Cukai mencatatkan kinerja positif di Semester I 2019.

Foto: Bea Cukai
APBN 2019 mengamanatkan target penerimaan kepada bea cukai sebesar Rp 208,8 triliun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal pemerintah, yang mempunyai tiga fungsi utama yaitu fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Revenue Collector, salah satu fungsi bea cukai, mengamanatkannya untuk berperan aktif dalam membiayai APBN melalui penerimaan kepabeanan dan cukai.

Realisasi penerimaan bea cukai pada tahun 2018 mencapai Rp 205,49 triliun, bila ditambah dengan PDRI yang sebesar Rp 245,2 triliun maka total kontribusi bea cukai sekitar Rp 450 triliun pada tahun 2018 atau melebihi anggaran infrastruktur tahun 2018.

Baca Juga

APBN tahun 2019, mengamanatkan target penerimaan kepada bea cukai sebesar Rp 208,8 triliun. Target tersebut berkontribusi sekitar 13 persen dalam menopang total belanja APBN tahun 2019 yang difokuskan pada upaya mendorong investasi dan daya saing melalui pembangunan sumber daya manusia. Terbukti dari alokasi anggaran pendidikan yang 20 persen dari APBN atau Rp 487,9 triliun dan anggaran kesehatan berupa jaminan kesehatan bagi 96,8 jiwa sebesar Rp 122 triliun.

Kontribusi penerimaan bea cukai terhadap total pendapatan negara mencapai 23 persen, atau 30 persen bila dibandingkan dengan total penerimaan perpajakan. Kontribusi signifikan tersebut disebabkan karena bea cukai tidak hanya bertanggung jawab atas penerimaan kepabeanan dan cukai yang terdiri atas Bea Masuk (BM), bea keluar (BK) dan cukai. Akan tetapi juga mengelola penerimaan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) lainnya seperti PPN Impor, PPnBM Impor, dan PPh Impor.

Penerimaan atau Revenue Collector sejatinya hanyalah salah satu fungsi dari bea cukai, masih banyak fungsi lainnya seperti Industrial Assistance, Trade Facilitator dan Community Protector. Pada peran “Trade Facilitator” dan “Industrial Assistance”, bea cukai menyediakan sejumlah fasilitasi atau kemudahan dengan harapan perusahaan semakin berkembang dan berkontribusi lebih besar pada perekonomian nasional.

Bea cukai memberikan pelayanan terbaik dengan memberikan prosedur yang jelas dan mudah serta menyediakan fasilitasi demi perkembangan industri dalam negeri. Fasilitas yang disediakanpun tidak hanya berupa insentif fiskal seperti Kawasan Berikat, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), atau Pusat Logistik Berikat (PLB) saja, namun juga prosedural seperti Authorized Economic Operator (AEO) serta Pertukaran Data Elektronik (PDE) Manifest.

Seperti dalam siaran pers Bea Cukai, sebagai fungsi “Community Protector”, jelas tidak kalah penting dengan peran-peran sebelumnya. Karena pada peran ‘pengawasan’ ini, bea cukai melakukan pengawasan atas keluar masuknya barang ekspor maupun impor secara profesional. Hal tersebut demi memastikan bahwa tidak ada barang yang terlarang atau ilegal yang berpotensi membahayakan baik bagi masyarakat maupun industri dalam negeri.

Kinerja positif Semester I tahun 2019

Realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai sepanjang Semester I Tahun 2019 telah mencapai Rp 85,60 triliun. Kinerja tersebut tumbuh sebesar 19 persen bila dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun lalu, dan merupakan 40,99 persen dari target yang diamanatkan pada APBN tahun 2019. Penerimaan PDRI lainnya yang terdiri dari PPN Impor, PPnBM Impor, dan PPh Pasal 22 Impor telah mencapai Rp 112,26 triliun.

"Alhasil, total penerimaan yang berhasil dikumpulkan bea cukai sampai dengan Semester I tahun 2019 adalah sebesar Rp 197,97 triliun," ungkap Bea Cukai dalam siaran persnya, Senin (19/8).

Pertumbuhan penerimaan bea cukai hingga Semester I tahun 2019 tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang 3 tahun terakhir. Kinerja positif tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan signifikan komponen penerimaan cukai, serta tidak terlepas dari dampak positif implementasi program reformasi di bidang kepabeanan dan cukai seperti Joint Program dan Penertiban Impor, Cukai, dan Ekspor Berisiko Tinggi (PICE-BT) yang diarahkan guna menciptakan suasana kondusif dunia usaha (fair and level playing field).

Realisasi penerimaan bea masuk (BM) hingga Semester I Tahun 2019, telah mencapai Rp 17,27 triliun. Capaian penerimaan tersebut merupakan 44,40 persen dari target penerimaan BM pada APBN tahun 2019.

Persentase terhadap target pada penerimaan BM merupakan yang tertinggi bila dibandingkan dengan komponen penerimaan yang lain, namun demikian terjadi pertumbuhan negatif 3,42 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2018.Hal ini disebabkan oleh pelemahan aktifitas perdagangan internasional (khususnya impor) sepanjang Semester I 2019.

Kinerja penerimaan BM sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global dan dinamika perdagangan dunia. Perang dagang US-China yang kian meningkat eskalasinya telah menambah ketidakpastian dan menyebabkan kontraksi bagi perdagangan global. Tekanan serupa juga terjadi pada aktifitas ekspor impor nasional. Sepanjang Jan-Juni 2019, volume impor turun xx persen (yoy) dibanding volume impor pada periode serupa 2018.

Pelemahan aktifitas impor terjadi merata di seluruh klasifikasi barang utama (BEC). Hal ini membuat bea cukai terus mewaspadai dampak perang dagang terhadap kinerja impor nasional dan berupaya mengembangkan langkah-langkah stimulus dan pengamanan (countercyclical), diantaranya untuk memfasilitasi peningkatan aktifitas ekspor-impor yang produktif melalui pemberian insentif fiskal dan prosedural di bidang kepabenan, perbaikan kualitas dan percepatan layanan serta upaya peningkatan kepatuhan (compliance) para pengguna jasa kepabeanan.

Realisasi penerimaan bea keluar (BK) sampai dengan 30 Juni 2019 mencapai Rp 1,63 triliun atau 36,87 persen dari target yang diamanatkan APBN tahun 2019. Realisasi ini turun 50,32 persen dibanding kinerja BK Semester I 2018.

Hal ini disebabkan oleh penurunan ekspor mineral (tambang) terutama konsentrat tembaga sebagai kontributor utama BK sepanjang Semester I. Menurunnya ekspor konsentrat tembaga ini tidak terlepas dari penyesuaian (relokasi) eksplorasi tambang oleh para penambang utama.

Di sisi eksternal, lesunya harga komoditas di pasar global juga memberikan tekanan pada penerimaan BK khususnya dari komoditas kelapa sawit. Namun demikian, di sisi lain tercatat terjadi pertumbuhan positif penerimaan BK dari komoditas bauksit dan nikel serta komoditas selain mineral seperti biji kakao.

Realisasi penerimaan cukai pada Semester I tahun 2019, adalah sebesar Rp 66,72 triliun. Realisasi penerimaan tersebut tumbuh sebesar 32,87 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2018 yang sebesar 13,33 persen. Penerimaan cukai dikontribusikan oleh penerimaan Barang Kena Cukai (BKC) antara lain Hasil Tembakau (HT) sebesar Rp  63,83 triliun, Minuman Mengandung Etil alkohol (MMEA) sebesar Rp 2,79 triliun, dan Etil Alkohol (EA) sebesar Rp 0,06 triliun.

Penerimaan cukai Semester 1 dipengaruhi oleh kinerja penerimaan cukai HT yang tumbuh sebesar 33,66 persen. Pertumbuhan signifikan penerimaan cukai HT yang terjadi konsisten sejak awal tahun tidak terlepas dari berbagi faktor, yakni efek kebijakan penyesuaian pelunasan pembayaran cukai (PMK nomor 57/PMK.04/2017), penguatan program penertiban cukai berisiko tinggi (PCBT) dan upaya menekan peredaran rokok ilegal.

Namun demikian, penerimaan cukai masih menghadapi kendala klasik, yakni masih terbatasnya jenis barang yang dikenakan cukai (BKC). Sebagaimana dipahami, pengenaan cukai terhadap suatu barang diarahkan sebagai pengendalian dan mengurangi eksternalitas negatif. Bea cukai saat ini masih menunggu keputusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menjadikan kantong plastik sebagai BKC baru, meskipun penerimaan atas cukai kantong plastik sudah dibebankan pada APBN tahun 2019 sebesar Rp 500 miliar.

Kewaspadaan di Semester II

Kinerja penerimaan bea cukai disisa tahun 2019 tentu akan menghadapi sejumlah tantangan, baik bersifat eksternal maupun internal. Tantangan eksternal berasal dari kondisi geopolitik hingga perekonomian global, yang diperkirakan masih akan menekan volume perdagangan dan fluktuasi harga komoditas di pasar internasional yang berimbas pada perlambatan kinerja ekspor dan impor nasional.

Tantangan domestik yang akan dihadapi adalah masih terbatasnya BKC, kontraksi aktifitas ekspor dan impor, risiko menurunnya pasokan komoditas ekspor mineral tambang akibat kebijakan relokasi situs eksplorasi, peredaran BKC ilegal, dan tantangan untuk terus meningkatkan kepatuhan para pengguna jasa. Hal tersebut membuat bea cukai harus terus waspada akan perkembangan lingkungan strategis penerimaan dan menyiapkan langkah-langkah countercyclical sebagai upaya pengamanan target penerimaan.

Langkah-langkah pengamanan yang disiapkan antara lain mendorong ekstensifikasi BKC baru (kantong plastik), penguatan dan perluasan joint program yang semula antara DJP-DJBC kini berkembang dengan menggandeng DJP-DJBC-DJA, pemantauan kondisi lingkungan strategis penerimaan dengan pemanfaatan teknologi informasi -salah satunya dengan penggunaan automate monitoring tools (AMT) yang dirancang mampu memonitor dan memberi peringatan (alert) akan penerimaan, transaksi dan perilaku transaksi yang tidak wajar.

Bea cukai juga terus memperbaiki kinerja dwelling time antara lain dengan simplifikasi prosedur ekspor dan impor, mempercepat pelayanan release barang di pelabuhan (auto gate system) dan implementasi Pusat Logistik Berikat (PLB) dan pemberian layanan 24 jam x 7 hari atas proses pembayaran BM dan pajak melalui Modul Penerimaan Negara Generasi 2 (MPN G2).

Kepatuhan pengguna jasa dan pengawasannya pun tidak luput menjadi sasaran perbaikan. Di sisi edukasi, upaya peningkatan compliance para pengguna jasa terus dibangun melalui peningkatan pelayanan, penyuluhan dan pendampingan (coaching, mentoring & counseling) serta aktifitas kehumasan.

Di sisi enforcement, kegiatan pengawasan, intensifikasi pemeriksaan dan penegakan hukum secara berkeadilan terus digenjot. Langkah sinergis pengawasan dan penertiban impor, cukai dan ekspor berisiko tinggi (PICE-BT) terus dibangun baik secara mandiri dengan melibatkan antar satker DJBC maupun dengan pihak DJP dan aparat penegak hukum lainnya.

Tindak lanjut rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas pengenaan cukai di Free Trade Zone (FTZ) juga dilaksanakan guna mengurangi risiko kebocoran penerimaan di dan dari kawasan perdagangan bebas. Terakhir di sisi kesisteman, layanan dan pengawasan pengguna jasa secara terintegrasi dengan basis manajemen risiko atau yang dikenal dengan Sistem Kepatuhan Pengguna Jasa (SKPJ) mulai diimplemantasikan. 

Serangkaian langkah pengamanan tersebut, diharapkan tidak hanya mampu meningkatkan kualitas layanan dan pengawasan keada pengguna jasa, namun juga dapat menghasilkan capaian penerimaan kepabeanan dan cukai sesuai target yang telah diamanatkan di APBN 2019. Prestasi mengkilap saat mampu melampaui target APBN 2017 dan 2018 pun dijadikan tambahan semangat dan motivasi.

"Semoga kerja keras dan kerja cerdas seluruh jajaran bea cukai dapat menjawab tantangan pencapaian penerimaan APBN 2019, karena semuanya diletakkan di atas sebuah keyakinan bahwa 'sebuah hasil tidak akan mengkhianati proses'," ujar Bea Cukai.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
 
Terpopuler