Rabu 23 Feb 2011 18:55 WIB

Budaya Penelitian di Indonesia Masih Rendah

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Budaya penelitian, pengembangan keilmuan, dan publikasi berskala internasional kalangan akademisi di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain, kata Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Edy Suandi Hamid. "Berdasarkan data World Bank pada 2004 disebutkan jumlah peneliti Indonesia sebanyak 207 peneliti per satu juta penduduk. Angka itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya," katanya di Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia pada penyerahan Surat Keputusan Guru Besar Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Universitas Islam Indonesia (UII) Mochammad Teguh, penelitian SCImago pada 1996-2008 menempatkan Indonesia pada posisi 64 dari 234 negara yang diteliti. "Jumlah publikasi Indonesia pada rentang 12 tahun itu mencapai 9.194 dokumen. Publikasi ilmiah Indonesia kalah dibandingkan dengan Arab Saudi, Pakistan, dan Bangladesh, yang masing-masing menduduki urutan 49, 50, dan 51," katanya.

Ia mengatakan, problem akademis itu bukan berarti wujud dari sikap pesimistis terhadap realita yang ada. Hal itu diungkapkan justru untuk mengingatkan bangsa ini memiliki pekerjaan rumah untuk memperbaiki dunia pendidikan negeri ini. "Kita harus optimistis upaya yang dilakukan bersama akan dapat menghasilkan hal terbaik bagi bangsa ini," katanya.

Apalagi, menurut dia, potensi peneliti Indonesia cukup tinggi. Jumlah peneliti perguruan tinggi berpendidikan magister sebanyak 71.489 orang, berkualifikasi doktor 13.033 orang, dan guru besar 4.500 orang. "Hal itu seharusnya menjadi dorongan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada, khususnya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tersebut," katanya.

Ia mengatakan, penyerahan surat keputusan guru besar itu menjadi istimewa bagi UII dalam rangka menuju universitas kelas dunia sesuai dengan konteks terus bertambahnya jumlah guru besar dan dosen bergelar doktor.

Berkaitan dengan hal itu, gelar sebagai guru besar jangan sampai menimbulkan stigma berhenti berkarya, karena pada dasarnya gelar itu justru menuntut seseorang untuk terus berkarya.

"Apalagi, seorang guru besar sangat akrab dengan kegiatan keilmiahan, bahkan cenderung identik dengan hasil pemikiran karya ilmiah," katanya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement