Senin 24 Jan 2011 15:45 WIB

Kesepakatan Pelestarian Hutan Dinilai tak Menyelamatkan Pohon

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK - Kesepakatan internasional mengenai pelestarian hutan rentan memberikan dampak kecil karena tidak mengatasi inti masalah. Beberapa inti masalah yakni peningkatan permintaan untuk bahan bakar alami dan tanaman pangan, demikian menurut sebuah laporan baru, Ahad (23/1).

Afrika dan Amerika Selatan telah kehilangan 7,4 juta hektar hutannya per tahun. Uni Internasional Organisasi Penelitian Hutan(IUFRO) mengatakan perubahan drastis dalam kebijakan adalah yang dibutuhkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa dan para pemerintah.

Enam puluh ahli internasional dalam sebuah laporan yang disampaikan dalam forum PBB pekan ini, menyataan perhatian terlalu banyak diberikan pada hutan sebagai penyimpan karbon dioksida, gas utama yang dipersalahkan atas pemanasan global. Deforestasi menyumbang sekitar seperempat dari emisi gas rumah kaca global setiap tahun yang dipersalahkan atas peningkatan suhu.

Pohon-pohon hidup bertindak sebagai penyerap karbon tetapi mengeluarkan gas itu ketika mereka membusuk atau dibakar. "Temuan kami menunjukkan bahwa mengabaikan dampak pada sektor hutan seperti pertanian dan energi akan mengutuk setiap upaya-upaya baru internasionalyang tujuannya untuk melestarikan hutan dan memperlambat perubahan iklim," kata Jeremy Rayner dari

University of Saskatchewan dan ketua panel laporan IUFRO.

Bahkan inisiatif terbaru yang didukung PBB mengenai pengurangan deforestasi di negara-negara berkembang (REDD) juga dikritik karena dinilai oleh panel tersebut mencari sebuah solusi tunggal global. Para ahli mengatakan bahwa REDD dan perjanjian internasional lainnya harus berkonsentrasi pada upaya membantu yang dikenal sebagai REDD, harus lebih fokus untuk mendukung upaya daerah dan nasional untuk menyelamatkan hutan beresiko.

"Kecuali semua sektor bekerja sama untuk mengatasi dampak konsumsi global, termasuk meningkatnya permintaan untuk bahan pangan dan biofuel, dan masalah-masalah kelangkaan lahan, REDD akan gagal untuk menangkal degradasi lingkungan dan akan meningkatkan kemiskinan," kata Constance McDermott dari Institut Perubahan Lingkungan Universitas Oxford.

Para pakar memuji inisiatif di Asia dan Eropa yang mereka katakan harus ditiru di tempat-tempat lain. Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) telah mengembangkan suatu standar kawasan untuk memantau pembalakan liar dan juga membentuk sebuah sistem khusus untuk penelitian yang berkaitan dengan hutan.

Sejumlah "contoh utama", menurut IUFRO asalah sebuah hukum AS yang melarang mengimpor kayu yang berasal dari pembalakan liar. Uni Eropa juga membuat upaya yang sama untuk menghentikan impor kayu ilegal melalui penyelidikan asal barang yang menuju pada kemitraan dengan eksportir utama seperti Kamerun.

Brasil, yang lama menjadi target kampanye internasional untuk membalikkan kerusakan hutan, telah mengesahkan kebijakan baru reformasi lingkungan yang memiliki potensi untuk memperlambat hilangnya hutan di Amazon, menurut IUFRO. Laporan itu akan dipresentasikan kepada Forum PBB tentang Hutan pekan ini sebagai bagian peluncuran Tahun Internasional Hutan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement