Selasa 11 Jan 2011 03:55 WIB

Menuai Rezeki dari Mangajar dan Nasi Goreng

REPUBLIKA.CO.ID, Keputusan saya menjadi seorang guru berawal dari aktifitas saya di rohis SMA. Waktu itu saya sebagai kabid pendidikan dengan program unggulannya yaitu Studi Qur’an Intensif (SQI). SQI merupakan program pemberantasan buta huruf Alquran sekaligus pembinaan akhlakul karimah.

Dalam aktifitas saya sebagai penanggung jawab SQI saya melihat dan merasakan keinginan untuk berbagi ilmu (menjadi guru). Maka ketika kelas tiga ada tawaran PMDK saya memilih IKIP Jakarta (sekarang menjadi UNJ) sebagai tempat pilihan. Alhamdulillah saya di terima di Jurusan Pendidikan Teknik Mesin FT UNJ.

Namun banyak guru saya yang berkomentar pahit saat itu, di antaranya guru sejarah mengatakan: “ Wah Git, kamu kalo ke IKIP nanti jadi guru…pahit tahu.” Apalagi guru fisika saya, beliau sangat kecewa karena menurut beliau seharusnya saya dapat masuk ITB.

Saya sendiri heran kenapa mereka mencemooh keputusan saya. Hampir-hampir saya mengurungkan niat saya. Namun karena niattan dan kesenangan menjadi guru, di sisi lain pilihan ke UNJ juga karena mudah diakses buat saya dengan latar belakang ekonomi yang pas-pasan bahkan cenderung kurang (biaya sekolah selama ini ditanggung kakak), saya merasa lebih pas di UNJ karena bisa kuliah sambil kerja.

Akhirnya saya kuliah di UNJ, teman-temanku sebagaimana mahasiswa kebanyakan banyak yang mengisi kesibukan lain selain kuliah dengan menjadi guru privat, begitu juga saya. Selain itu aku juga sering mengikuti bazaar yang diadakan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) di kampus.

Di semester tujuh, saya mencoba melamar menjadi guru. Alhamdulillah diterima di Madrasah Aliyah Al Khalidiyah Jakarta. Sebulan saya mengajar dengan 4 hari setiap minggunya di sela-sela kuliah.

Di bulan pertama saya shok ketika menerima gaji sebagai guru Rp. 90.000. Menurut hitungan ku, ini hanya gaji seminggu harusnya sebulan dikali empat minggu atau sebesar 360.000. Ternyata setelah aku kroscek dan tanya tentang penghitungan gaji guru honor, memang seperti itu. Saat itu aku baru sadar maksud ucapan guru sejarah “Menjadi guru itu pahit!”

Tapi tekadku menjadi guru tidak berhenti sampai di situ. Aku berfikir jika kondisinya seperti itu bagaimana guru dapat mencerdaskan kehidupan bangsa, kalau kesejahteraannya tidak terjamin. Kalo begitu, saya harus membuat dapur saya ngebul, baru jadi guru. Artinya saya harus membuat usaha pribadi (wiraswasta) selain menjadi guru.

Akhirnya saya putuskan berhenti mangajar dan sebagi aktifitas pencarian dana kuliah saya lebih banyak mengadakan bazar (berdagang) dan privat. Sampai akhirnya di semester delapan saya mendapat kesempatan untuk membuka kantin di kampus. Maka aktifitas pun berubah, kuliah dan dagang.

Dari usahaku ini kemudian aku memberanikan diri untuk menikah. Ternyata kesibukan antara dagang, rumah tangga, dan kuliah tidak dapat aku kuasai semuanya sehingga harus memilih antara lulus atau terus asik berdagang.

Karena waktu kuliah yang semakin mendekati batas, saya putuskan untuk mejual kantin kemudian bekerja sekaligus konsentrasi menyelasaikan kuliah, hingga akhirnya saya lulus di tahun 2003.

Setelah lulus saya tidak langsung memutuskan untuk mengajar. Belajar dari pengalaman, saya pikir saya tidak akan sanggup menghidupi keluarga dengan menjadi guru honor, apalagi waktu itu istri juga masih kuliah. Saya putuskan untuk membuka usaha, yaitu Rumah Makan Nasi Goreng. Alhamdulillah usaha ini menjadi sumber rezki dari Allah untuk menghidupi keluaraga, dan istri pun dapat lulus kuliah.

Setelah usaha nasi goreng ini mantap, saya melamar menjadi guru dan diterima di SMP swasta. Saya mengajar dengan enjoy, masuk pukul 07.00 pulang 16.00 (full day school). Sementara untuk menyiapakan usaha nasi goreng saya menggaji dua karyawan.  Pagi mengajar malam berjualan nasi goreng. Begitu selama lima tahun.

Karir di sekolahku sendiri tergolong baik, karena saya dapat berkonsentrasi dalam mengajar. Sehingga, saya menerima amanat lain, mulai sebagai wali kelas, kemudian wakasek kesiswaan, hingga wakasek kurikulum.

Usaha nasi goreng ini mampu menopang kebutuhan keluarga, sekaligus menguatkan peran , tugas ,dan fungsi saya sebagai guru. Lima tahun kemudian saya juga lulus tes CPNS dan saat ini saya mengajar di SMKN 1 Tambun Utara dan diamahkan juga sebagai wakasek kesiswaan.

Sekarang dua-duanya saling menguatkan (usaha nasi goreng saya tetap jalani, sekaligus sebagai PNS). Kadang kebutuhan keluarga disokong dari usaha nasi goreng. Di sisi lain banyak juga pesanan dari guru dan juga ketika ada acara sekolah yang malam hari pesannya di warung saya.

Saya bersyukur pada Allah telah menunjukan jalan dan memberikan rezki yang banyak pada saya dan keluarga. Semoga secuil pengalaman ini dapat menjadi inspirasi bagi rekan-rekan sejawat.

 

 

Sugito

Guru SMKN 1 Tambun Utara, Bekasi

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement