Rabu 24 Nov 2010 08:41 WIB

Staf Khusus Presiden: Laporan Greenpeace tidak Benar

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Staf Khusus Presiden RI untuk Perubahan Iklim, Agus Purnomo mengatakan ada beberapa hal dalam laporan Greenpeace berjudul "Protection Money" yang tidak benar dan tidak akurat. Agus Purnomo yang dihubungi di Jakarta, Selasa, mengatakan hal yang tidak benar dalam laporan tersebut yaitu mengenai luas hutan yang akan dikonversi untuk industri dan dana internasional perubahan iklim yang diterima Indonesia bakal dikorupsi.

Dalam laporan tersebut, Greenpeace menganalisa bakal ada 63 juta hektare hutan sampai 2030 untuk pengembangan pulp dan papper, palm oil, pertambangan, dan energi terbarukan. "Kita bingung, mereka (Greenpeace) menemukan angka itu dari mana. Karena setelah kita telusuri dari berbagai hal, kita tidak menemukan angka sebesar itu. Angka itu 'ngawur'. Angka itu dikarang oleh mereka," kata Agus Purnomo yang lebih akrab dipanggil Pungki.

Kementerian Kehutanan menyatakan bahwa sampai 2030, ada 24 juta hektare hutan yang akan dimanfaatkan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), pembangunan industri perkebunan seperti kelapa sawit dan perkebunan untuk energi terbarukan seperti pohon jarak. "Seluas 24 juta hektare hutan diambil dari sumber-sumber 35,4 juta hektare dari lahan kritis yang dapat diakses dan ada area penggunaan lain (APL). Dengan demikian ada 11 juta hektare yang bisa digunakan untuk memperluas hutan untuk HPH dan juga untuk di-restore pada kawasan restorasi," katanya.

Sedangkan kekhawatiran Greenpeace bahwa dana internasional perubahan iklim yang didapat Indonesia akan dikorupsi, Pungki menyatakan hal tersebut tidak benar. Dia menjelaskan Indonesia baru akan mendapatkan dana tersebut setelah terbukti berhasil menurunkan emisi karbondioksida.

Sedangkan dari catatan Kementerian Kehutanan, Indonesia dijanjikan 220 juta dolar Amerika untuk dana perubahan iklim di luar dana dari Norwegia dan hanya sekitar dua persen atau 5,5 juta dolar Amerika yang dikelola oleh pemerintah. "Dana yang lain dikelola oleh program-program internasional dan bilateral. Jadi bagaimana pemerintah bisa mengkorupsi dana itu?" tanya Pungki.

Sebelumnya, Kementerian Kehutanan (Kemhut) membantah tudingan Greenpeace, berencana mengkonversi 63 juta hektare (ha) kawasan hutan sampai 2030 untuk pengembangan pulp dan papper, palm oil, pertambangan, dan energi terbarukan. Sekjen Kemhut, Hadi Daryanto, mengungkapkan bahwa pemerintah memang berencana membangun hutan tanaman rakyat dan hutan tanaman industri seluas 500.000 hektare per tahun.

Dengan program tersebut, menurut dia, Indonesia selama dua puluh tahun hanya akan memakai 10 juta hektare saja untuk menyediakan bahan baku kayu dari hutan tanaman untuk industri. Sementara untuk menunjang industri minyak kelapa sawit (CPO), katanya di sela pameran Gerakan Perempuan Tanam, pemerintah akan mengalokasikan areal seluas 300.000 ha per tahun untuk membangun kebun kelapa sawit. "Sampai 2030, kita hanya akan pakai enam juta ha."

Untuk membangun industri biofuel disediakan 200.000 hektare per tahun, sehingga hanya dibutuhkan 4 juta hektare kalau selama 20 tahun. Sedangkan untuk sektor pertambangan, pemerintah hanya mengalokasikan areal sekitar sepuluh persen dari luas izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam (HPH) seluas 26 juta ha dan hutan tanaman (HTI) 10 juta ha.

Jika kedua izin konsesi itu mencapai 36 juta ha, maka areal untuk sektor pertambangan sekitar 3,6-4 juta ha, kata Hadi. Dengan demikian, luas areal kawasan hutan yang digunakan untuk keempat kegiatan tersebut mencapai 24 juta ha.

sumber : ant
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement