Rabu 15 Sep 2010 08:39 WIB

Jakarta Masih Menjadi Magnet bagi Pendatang

Red: irf

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pusat kemacetan, perempatan dan lampu merah, masih sepi pengemis. Di kawasan perumahan elite, juga tak lagi ditemui kumpulan pembawa gerobak yang mirip pemulung sampah. Seiring berlalunya Ramadhan, pengemis dan peminta bergaya pengais sampah kembali ke asalnya.

Mereka seakan mafhum, di luar Ramadhan musim kering sedekah mulai tiba. Tahun depan, jelang Ramadhan mereka akan datang kembali ke ibu kota menyongsong saat banjir zakat, infak, dan sedekah. Wajah-wajah sarat masalah itu, boleh saja berkurang di Jakarta. Tetapi jumlah mereka yang semula meruyak, berlahan digantikan para pendatang lain. Tentu tidak untuk mengikuti jejak sebagai pengemis.

Pendatang baru, memandang Jakarta pesona yang bertabur bunga. Jakarta dengan cantik semunya berhasil menarik perhatian penduduk nusantara. Peran media seperti televisi, yang kerap menampilkan gemerlapnya kehidupan kota, tak dielak ikut mendorong laju pertumbuhan urbanisasi.

Sabagian orang desa yang lugu, makin terpesona tatkala musim Lebaran, para

pemudik berkisah cerita sukses. Umumnya, perantau di Jakarta yang berniat pulang kampung mayoritas sudah cukup berhasil atau memaksa seakan-akan berhasil. Sementara yang masih berjuang merasa enggan pulang.

Tak salah jika Sartono (20), pendatang baru asal Tulungagung menyimpulkan bahwa Jakarta tempat yang cocok untuk mendapatkan penghidupan lebih baik. Ia lihat tetangganya yang mudik, pulang dengan mengendarai motor atau mobil pribadi.

Wahono (21), bujang asal Bloro, bahkan tak betah lagi tinggal di rumah. Di desa tak ada tempat bekerja. Bercocok tanam juga tanah sepetak. Buka usaha tiada modal. Pemuda dengan masa depan suram. Sayangnya, Sartono dan Wahono menjejak Ibu Kota yang tak ramah pada orang susah, bermodal nekat. Keduanya meyakini, langkah terjal Jakarta cukup kuat diinjak dengan doa dan restu orang tua.

Tak ada yang salah dengan keduanya. Desa, jika kita selami nyaris tak menjanjikan apa-apa. Berkoar pemerataan ekonomi, itu ramai di kota-kota. Desa tetaplah merana. Diskusi kayanya potensi desadesa di Indonesia, tetap saja mentok pada wacana. Ramai di ruang seminar. Bahan dis kusi yang tak habis-habisnya dibahas pada level pemerintahan dan anggota de wan sejak bertahun-tahun.

Kerap kita dengar, “Mengapa mereka tidak bangun desanya. Malah datang ke kota tanpa bekal keahlian. Bukankah daerah kita ini makmur dan subur?” Kita lupa, jikapun subur dengan tanahnya, hasil pertanian di musim panen selalu saja jeblok. Petani tak henti-henti diakali. Dikadali dari tengkulak sampai level kebijakan.

Tetap saja lahan subur itu, tak membuat orang desa makmur. Alam yang kaya juga tak mendongkrak taraf hidup orang desa. Jikapun mencicipi, mereka mesti mencuri di tanah sendiri.

Tambang desa yang harusnya menjadi pundi kemakmuran, nyatanya milik kong lo merat kota. Lebih parahnya, dikuasai asing. Bila ada sebagian kecil yang meng ga li tambang sendiri mereka diuber, di tang kap sebagai pencuri. Penambangan ille gal yang bisa jadi dicap merugikan ne gara.

Maka, Jakarta, sumber dari segala sumber itu menjadi madu yang diserbu. Jakarta juga dicaci, dibenci, dan dicintai. Jantung negara yang kadang membosankan oleh kemacetan, tapi juga menjadi magnet bagi para pengadu nasib.

sumber : Baznas
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement