Senin 29 Mar 2021 05:46 WIB

Saat Abu Jahal Menolak Bersyahadat

Dari segi tata bahasa, kalimat syahadat memiliki makna terdalam

Salah seorang warga binaan Lapas Perempuan Kelas IIA Pondok Bambu (kanan) mengucapkan kalimat syahadat.
Foto: Rakhmawaty La'lang/Republika
Salah seorang warga binaan Lapas Perempuan Kelas IIA Pondok Bambu (kanan) mengucapkan kalimat syahadat.

REPUBLIKA.CO.ID,Syahadat merupakan gerbang masuk seseorang ketika hendak menjadi Muslim. Dua untai kalimat bermakna ‘Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah’ tidak sesederhana yang terlihat. Kalimat ini menjadi sumpah setia seorang hamba kepada Tuhannya dan seorang pengikut kepada junjungannya. Saat sumpah itu benar-benar dihujamkan, maka empat rukun Islam yang lain - shalat,puasa,zakat, pergi haji - pun akan mudah dilakukan. 

Dari segi tata bahasa, kalimat syahadat memiliki makna terdalam. Pengucapan kalimat tidak ada tuhan adalah komitmen seorang hamba untuk ‘mengenyampingkan apa pun. Penyembahan terhadap bumbu-bumbu dunia seperti keluarga, anak, istri, harta dan jabatan  harus dikesampingkan pada waktu awal pengucapan. Penambahan kata selain Allah menjadi bukti Allah adalah satu-satunya yang patut dipertuhankan. Sementara, kalimat Rasulullah utusan Allah menjadi komitmen seorang Muslim untuk mengikuti segala sunnah yang diajarkan Nabi. 

Syahadah berarti ikrar (pengakuan), sumpah dan perjanjian. Pada QS Al Imran ayat 18, Allah SWT berfirman "Allah menyatakan tidak ada tuhan selain Dia; demikian pula para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” Di ayat yang lain, Allah SWT berfirman tentang status Rasulullah SAW sebagai utusan. “Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.”(QS Al Ahzab ayat 45).

Para pembesar Quraisy memahami betul inti kalimat syahadat. Karena itu, mereka menolak saat Rasulullah meminta tokoh-tokoh dari Bani Hasyim untuk mengucapkan Lailahaillallah Muhammad Rasulullah. Ketika itu, Nabi Muhammad bersabda, “Wahai saudara-saudara, maukah kalian aku beri satu kalimat, dimana dengan kalimat itu kalian akan dapat menguasai seluruh jazirah Arab?” Kemudian Abu Jahal menjawab, “Jangankan satu kalimat, sepuluh kalimat berikan kepadaku.” Kemudian, Rasulullah pun mengatakan, “Ucapkanlah laa ilaha illa Allah dan Muhammad Rasulullah.” Abu Jahal pun menjawab, “Kalau itu yang engkau minta, berarti engkau mengumandangkan peperangan dengan semua orang Arab dan bukan Arab.”

Penolakan Abu Jahal kepada kalimat ini bukan karena dia tidak paham akan makna dari kalimat itu. Abu Jahal justru tidak mau menerima sikap yang mesti tunduk, taat, dan patuh hanya kepada Allah SWT. Jika bersikap seperti itu, Abu Jahal menyadari bahwa semua orang akan tidak tunduk lagi kepadanya. Abu Jahal ingin mendapatkan loyalitas dari kaum dan bangsanya. Jika dia mengikuti untuk bersyahadat, artinya Abu Jahal dan para pembesar itu menerima semua aturan dan segala akibatnya.

Sheikh Muhammad bin Sholeh Al Utsamain mengatakan, kalimat La Ilaha Illallah bermakna seorang mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah. Kalimat ini mengandung makna peniadaan dan penetapan.  Kalimat peniadaan (Laa ilaha) dan penetapan (Illallah) mengandung makna ikhlas. Artinya, memurnikan ibadah hanya untuk Allah saja dengan meniadakan ibadah selain dari-Nya. 

“Bagaimana kamu mengatakan tidak ada sesembahan (ilah) kecuali Allah padahal di sana banyak ilah-ilah yang diibadahi selain allah dan Allah Azza wa Jalla menamainya alihah (jamak dari ilah) dan penyembahnya menyebutnya alihatun,”tulis Sheikh Al Utsmain.  Tentang sesembahan ini, Allah SWT berfirman di dalam QS Hud: 101.  “Karena itu tidaklah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sesembahan yang mereka seru selain Allah di waktu azab Rabb mu datang. “ Allah juga berfirman dalam QS Al Isra: 39 yakni “Dan janganlah kamu mengadakan sesembahan-sesembahan lain di samping Allah. 

Lebih lanjut, sang shaikh mengatakan,   makna Muhammad utusan Allah adalah membenarkan apa-apa yang Rasulullah kabarkan, melaksanakan apa yang dia perintahkan, menjauhi apa yang dilarang dan tidak ada ibadah kepada Allah kecuali dengan cara yang disyariatkan darinya. Kalimat ini juga mengandung konsekuensi bahwa seorang Muslim tak memiliki keyakinan bahwa Rasulullah memiliki hak untuk disembah, hak mengatur alam atau hak dalam ibadah. 

Hanya, Rasulullah merupakan seorang hamba yang tidak berdusta dan tidak memiliki kemampuan sedikit pun untuk memberi manfaat dan mudharat untuk dirinya sendiri maupun orang lain kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al Anfal:50. “Katakanlah (ya Muhammad): Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malakikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku..”

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement