Ahad 07 Mar 2021 12:30 WIB

Hukum Menghadiri Undangan ke Rumah Ibadah Non-Muslim

Ulama menjelaskan hukum menghadiri undangan ke rumah ibadah Non-Muslim.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Hafil
Hukum Menghadiri Undangan ke Rumah Ibadah Non-Muslim. Foto: Rumah ibadah (Ilustrasi)
Hukum Menghadiri Undangan ke Rumah Ibadah Non-Muslim. Foto: Rumah ibadah (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi mualaf tentu memiliki kerabat yang berbeda agama tak terkecuali muslim yang memiliki rekan atau kerabat non muslim. Banyak yang bertanya bagaimana jika mereka menikah di tempat ibadah apakah muslim boleh menghadiri resepsi di gereja atau tempat ibadah lain.

Sejak dulu  masalah seperti ini sudah dibicarakan oleh para ulama, karena memang umat Islam sejak dulu juga tidak pernah hidup sendirian tanpa ditemani kerabatnya dari kalangan agama yang berbeda.

Baca Juga

Dan syariah mengatur itu semua. Perihal hukum seorang muslim yang masuk ke gereja atau sinagog, ulama berbeda pendapat  menjadi tiga kelompok pendapat, yakni makruh, boleh secara mutlak, namun makruh jika melakukan sholat di dalamnya, dan haram jika ada patungnya, dan harus dengan izin.

Pendapat madzhab Hanafi, mereka berpendangan bahwa  memasuki

gereja atau sinagog dan tempat ibadah agama lain tidak diharamkan sama sekali.

Hanya saja makruh. Makruh bukan karena tidak boleh masuk, akan tetapi dimakruhkan karena gereja atau sinagog itu tempat berkumpulnya setan.

Kalau memang tempat berkumpulnya setan, kenapa boleh masuk? Kenapa tidak diharamkan saja? Ya. Toilet dan tempat buang air itu juga  tempat berkumpulnya setan, tapi muslim sama sekali tidak terlarang masuk tempat-tempat tersebut.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa kandang unta itu tempatnya setan kumpul, karena itu dalam pandangan ulama fiqih lintas madzhab, tidak diperkenankan shalat di kandang unta tapi boleh di kandang kambing menurut madzhab al-Hanbali.

Tapi tidak ada satu pun hadits atau perkataan sahabat yang mengharamkan masuk kandang-kandang itu.

Pendapat kedua boleh secara mutlak. Ini pendapat yang dipegang oleh kebanyakan ulama dari madzhab Maliki dan Syafi'i juga Hanbali. Tidak ada larangan untuk memasuki gereja atau juga tempat ibadah agama lain.

Namun makruh hukumnya jika melakukan sholat disitu. Sebenarnya dalam hal ini, Imam Ahmad bin Hanbal punya tiga riwayat terkait sholat di dalam gereja atau sinagog, boleh tidak ada kemakruhan sebagaimana

hukum memasukinya, makruh melakukan sholat di dalamnya,  dan dibedakan antara gereja yang ada patungnya atau tidak, kalau ada patungnya maka sholatnya makruh, kalau tidak ada maka boleh-boleh saja.

Kesemua riwayat ini diceritakan oleh Imam Ibnu Qoyyim dalam kitabnya Ahkam Ahli Dzimmah, akan tetapi yang menjadi pendapat madzhab Hanbali sebenarnya ialah pendapat boleh masuk dan boleh

juga sholat tanpa kemakruhan, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Buhuti dalam Kasysyaful-Qina.

Namun berbeda hukumnya jika ketika pernikahan terdapat ritual agama di dalamnya. Pernikahan walaupun bukan hari raya agama tertentu, akan tetapi di dalam pernikahan terdapat ritual agama yang memjadi simbol khusus keagamaan mereka.

Didalamnya terdapat pengagungan dan pembaktian kepada tuhan yang mereka yakini. Jadi sama seperti hari raya yang di dalamnya skmbol agama, pernikahan yang didahului biasanya dengan ritual agama pun mestilah terdapat simbol-simbol agama tersebut. Dan syariah melarang kita untuk ikut dan menghadirinya.

Ini juga yang disebut oleh Imam Ibn Qayyim al Jauziyah dalam kitabnya, Ahkam Ahli Dzimmah, ketika menjelaskan tentang hukum menghadiri perayaan ibadah orang non muslim, yang beliau sebut sebagai keharaman yang disepakati oleh seluruh ulama. Selain apa yang diriwayatkan dari sayyidina Umar tentang turunnya murka Allah pada perayaan ritual semacam itu.

Dalam Alquran Surah Al Furqan ayat 72 disebutkan,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya.

Sumber : Buku Fikih Kondangan ke Gereja tulisan Ahmad Zarkasih.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement