Jumat 18 Dec 2020 17:33 WIB

Setahun Covid-19, Warga Wuhan Masih Trauma dan Khawatir

Warga Wuhan mengatakan kehidupan sudah kembali normal meski trauma masih ada

Rep: Bang Xiao/ Red:

Setahun setelah pandemi global COVID-19 yang asal mulanya dipercaya berasal dari Wuhan, bayi Kankan akhirnya bisa bermain di luar rumah tanpa membuat orang tuanya khawatir.

  • Warga Wuhan mengatakan kehidupan sudah kembali normal meski trauma masih ada
  • Wuhan mencapai pertumbuhan ekonomi 10 besar terbaik di China di tahun 2020
  • Beberapa warga masih merasakan stigma karena Wuhan dianggap asal COVID

 

Ia lahir 20 hari sebleum kasus pertama virus corona dilaporkan terjadi pertengahan Desember tahun lalu.

Sama seperti juga warga dunia lainnya, kehidupan Kankan terpengaruh karena pandemi COVID-19.

Kankan dilahirkan dengan masalah 'necrotising enterocolitis', penyakit yang menyerang bagian ususnya, dan dia dibawa untuk dirawat di Rumah Sakit Wuhan Central.

Rumah sakit tersebut juga adalah tempat pasien-pasien pertama COVID yang terkena virus dari Pasar Besar Makanan Laut Huanan.

Sebulan kemudian, Kankan boleh meninggalkan rumah sakit namun masalah yang dihadapi keluarganya lebih susah lagi, karena seluruh Wuhan ditutup sehingga usaha merawatnya di rumah menjadi masalah.

 

Saat jutaan warga di kota Wuhan panik membeli berbagai kebutuhan untuk bertahan hidup hanya beberapa jam sebelum kota Wuhan memberlakukan 'lockdown', ayah Kankan, Long Kong menemukan supermarket sudah kosong ketika ia hendak membeli barang-barang untuk kebutuhan bayinya.

"Setiap hari ketika bangun, saya langsung berpikir kemana saya harus pergi dan bagaimana caranya bisa pergi," kata Kong kepada ABC.

Kong yang berusia 30 tahunan tersebut mengatakan dia tidak pernah lupa bagaimana ketika dia harus mencari susu bubuk khusus untuk bayinya, Kankan.

"Saya mencari bantuan lewat grup WeChat (medsos di China) di kawasan tetangga saya, dan kemudian ada beberapa organisasi yang membantu," katanya.

"Kami tidak tahu persis dari mana sumbangan berasal namun kami tentu sangat bersyukur."

Dalam gendongan ayahnya, Kankan memandang dunia luar dari jendela apartemen mereka dimana selama lebih dari 11 bulan Kankan tidak pernah keluar dari rumah sekalipun.

Bahkan setelah Wuhan dibuka kembali setelah 76 hari ditutup ketat, Kankan tidak bisa meninggalkan rumahanya karena takut terpapar virus corona.

 

Kehidupan sudah kembali normal namun luka masih ada

 

Melihat kembali kehidupan selama setahun terakhir, Kong mengatakan bahwa dia seperti hidup di dua masa, dimana sekarang kehidupan sudah kembali 'normal' lagi.

"Saya sekarang tidak khawatir lagi ketika kami diperintahkan untuk kembali ke kantor." kata Kong, seorang insinyur telekomunikasi tersebut.

Denhgan sistem pelacakan kasus yang diterapkan China, dan warga tetap menggunakan masker di tempat umum dan di transport publik, Kong merasa aman keluar rumah dan tidak merasa takut akan membawa virus yang bisa menulari Kankan.

Sama seperti Kong, fotografer freelance Qi Zhang juga merasakan kota Wuhan kembali normal lewat berbagai foto yang diambilnya.

Zhang pertama kali merekam Wuhan ketika dia membawa mertunya ke rumah sakit untuk perawatan darurat.

 

Dengan lockdown dicabut bulan April, Qi Zhang melihat salah satu kawasan paling sibuk di kota Wuhan kembali berkegiatan.

"Kehidupan kembali normal di bulan April dan Mei, yang mengakibatkan kemacetan, penumpang penuh di transport publik dan orang makan di ruang terbuka." katanya.

Sejak itu perekonomian Wuhan dengan cepat tumbuh kembali.

Walau keadaan sudah terasa normal, Zhang mengatakan pandemi dan lockdown akan menjadi salah satu yang tidak akan terlupakan bagi banyak warga Wuhan.

"Meski Wuhan sudah sembuh lagi, namun luka karena virus corona masih tersisa," kata Zhang.

 

Sejauh ini pemerintah Wuhan melaporkan adanya 50.340 kasus COVID-19 dengan 3.869 kematian sejak bulan Desember, sementara secara keseluruhan di dunia lebih dari 1,6 juta orang meninggal.

Pelacakan yang dilakukan China menemukan bahwa kasus pertama corona di Wuhan berasal dari Pasar Besar Makanan Laut Huanan.

Pasar itu masih kosong sampai sekarang dan stigma sebagai asal COVID masih menghantui Wuhan.

Ariel Lu, seorang warga Wuhan yang pernah kuliah di Deakin University di Melbourne ada begitu banyak teori konspirasi yang tidak jelas mengenai asal muasal virus.

"Tiba-tiba, berbagai teori ini beredar di WeChat atau di Weibo," kata Liu kepada ABC.

Ketika berbagai informasi tersebut beredar, warga yang berasal dari Wuhan mendapat perlakuan buruk di berbagai kota di China.

 

Lu mengatakan warga di Wuhan sudah melakukan berbagai usaha dan harus membayar mahal juga untuk membatasi penyebaran COVID-19.

Dalam menghadapi virus ini, kita harus menjadi bagian dari komunitas guna menghadapi masa depan bersama-sama.

Sebuah misi internasional yang dipimpin WHO akan mengunjungi China bulan Januari untuk menyelidiki asal muasal virus tersebut.

Menemukan asal virus demi kepentingan politik

Ariel Lu terdampar di Wuhan sejak pemerintah Australia menerapkan pembatasan perjalanan dari China sejak bulan Februari.

Dia mengikuti dari dekat dinamika politik yang terjadi antara Beijing dan Canberra dalam beberapa bulan terakhir.

 

Dia mengatakan penyelidikan mengenai asal COVID-19 sudah menjadi "permainan politik".

"Saya berharap pertanyaan seperti ini harusnya diserahkan kepada para ahli, peneliti dan para ilmuwan," katanya.

Dalam jumpa pers baru-baru ini salah seorang petinggi WHO Dr Michael Ryan mengatakan banyak hipotesa mengenai asal, evolusi dan penyebaran COVID-19 tidak memiliki 'bukti sama sekali'.

Namun laporan awal yang dibuat oleh para pakar China dan Jerman, yang menyebut pandemi ini berasal dari India atau Italia banyak dikutip oleh media massa China.

Pihak berwenang China juga mengatakan bahwa mereka menemukan virus corona di makanan beku yang tiba di sana, termasuk daging sapi asal Argentina, babi asal Jerman, cumi asal India, dan udang dari Saudi yang ditemukan di 10 provinsi di China.

Minggu lalu tabloid Partai Komunis China, Global Times mengatakan daging steak asal Australia termasuk barang-barang yang dijual di Pasar Huanan sebelum pandemi terjadi.

Belasan warga Wuhan mengatakan kepada ABC bahwa mereka tidak percaya bahwa COVID-19 pada awalnya berasal dari Wuhan dan tidak senang dengan berbagai tuduhan yang dilontarkan antar negara mengenai asal muasal virus tersebut.

Saya tidak setuju dengan negara yang saling menuduh seperti ini," kata Kong yang pernah terkena malaria ketika bekerja di Benin, dan juga harus berjuang melawan Ebola di Afrika ketika dia bekerja di sana saat berusia 20 tahunan.

"Ada laporan berita bahwa seorang anak di Italia mungkin terkena COVID bulan November tahun lalu. Tapi ini tidak seharusnya disebut virus berasal dari Italia."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dan lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement