Wednesday, 14 Zulqaidah 1445 / 22 May 2024

Wednesday, 14 Zulqaidah 1445 / 22 May 2024

Kisah Ironi di Pemilu Pertama Indonesia

Kamis 10 Dec 2020 12:01 WIB

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto

Suasana pemungutan suara di Pemilu pertama Indonesia, 1955.

Suasana pemungutan suara di Pemilu pertama Indonesia, 1955.

Foto: Dok. ANRI
Pemilu pertama secara nasional ini ternyata telah menyisakan kurang lebih 16 ton sura

REPUBLIKA.CO.ID, Pada catatan sejarah nasional, pelaksanaan Pemilu pertama di Indonesia berlangsung pada 1955. Pada perhelatan akbar ini, ternyata banyak hal menarik yang belum diketahui masyarakat.

Penulis buku 'Sejarah Pemilu yang Dihilangkan', Faisal Hilmy Maulida mengatakan, telah terjadi kisah ironi setelah pemungutan suara di Pemilu 1955. Pemilu pertama secara nasional ini ternyata telah menyisakan kurang lebih 16 ton surat suara. "Sampai muncul perdebatan antara Kemenkeu (Kementerian Keuangan) dengan PPI (Panitia Pemilihan Indonesia)," kata pria disapa Hilmy ini.

Sebagai pelaksana Pemilu, PPI dianggap telah menghamburkan uang negara. Mereka telah mencetak surat suara secara berlebihan sehingga banyak yang tidak terpakai. Situasi ini menimbulkan polemik sampai akhirnya PPI pun memberikan klarifikasi.

Pada buku 'Sejarah Pemilu yang Dihilangkan', Ketua PPI, S. Hadikusumo menyatakan, penambahan surat suara sesuai dengan UU Pemilu dan Peraturan Pemerintah (PP). PPI menyediakan surat suara sesuai jumlah pemilih terdaftar dengan tambahan 10 persen. Untuk itu, PPI menegaskan, surat suara bukan kelebihan tapi menyesuaikan aturan yang berlaku.

Berdasarkan UU Pemilu pasal 131, surat suara yang tersisa seharusnya dimusnahkan. Namun PPI mengusulkan pemusnahan surat suara ini bukan dengan pembakaran atau penghancuran. "Akhirnya dinyatakan musnah, surat suara dilelang, uangnya dimasukkan ke kas pemerintah," ucap dosen dari Universitas Binus Malang ini. 

Kisah surat suara ini sebenarnya menjadi paradoks tersendiri apabila dibandingkan kasus lainnya. Hilmy mengungkapkan, satu kisah pencurian surat suara yang diduga dilakukan warga Jatinegara, Djanawin bin Nali (37). Kasus sederhana ini telah menarik perhatian publik hingga tertulis dalam pemberitaan nasional.

Djanawin pada dasarnya bukan tokoh sentral dalam perpolitikan di Indonesia. Ia hanya seorang petugas keamanan di tempat penyimpanan gudang surat suara. Berdasarkan pengakuan Djanawin, ia hanya mencuri dua lembar surat suara pada Jumat (26/8/1955) sekitar pukul 16.00.

Keterangan saksi lain, Djanawin diduga telah mengambil dua kilogram (kg) surat suara. Informasi diungkapkan pedagang yang telah membeli surat suara dari Djanawin. Jual-beli surat suara ini diperkirakan terjadi pada Sabtu (27/8/1955) pukul 11.30 WIB.

"Ini paradoks ketika rakyat kecil dipenjara kemudian ternyata surat suaranya dijual. Ini kejadian unik di Pemilu 1955," ungkap aktivis GMNI ini.

 

 
 

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler