Senin 07 Dec 2020 17:14 WIB

Anti-Semit dalam Tradisi Islam Menurut Sarjana Barat

Anti-Semit dalam tradisi Islam merujuk pada tafsir ulama

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Anti-Semit dalam tradisi Islam merujuk pada tafsir ulama. Islam-Yahudi/ilustrasi
Foto: news.yourolivebranch.org
Anti-Semit dalam tradisi Islam merujuk pada tafsir ulama. Islam-Yahudi/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Peter Wein, guru besar sejarah Timur Tengah Modern di University of Maryland di College Park, Amerika Serikat menegaskan bahwa tidak ada tradisi Anti-Semitisme dalam Islam.

Menurut dia, topik ini hanya alibi para kritikus Islam dan penyebar kebencian untuk menyesatkan umat Muslim.

Baca Juga

"Firman Tuhan perlu dipahami dan ditafsirkan. Hal yang sama berlaku untuk pernyataan anti-Yahudi dalam Alquran," ujarnya yang dikutip di Qantara, Senin (7/12).

Selama lebih dari seribu tahun, Muslim telah bekerja keras untuk membuat firman Tuhan mereka berlaku sebagai doktrin moral dan hukum. Sedangkan para ulama mengklaim hak eksklusif untuk menafsirkannya.

“Meskipun proses ini tidak demokratis, hal itu menjamin bahwa interpretasi yang ekstrem dan terisolasi hanya memiliki sedikit peluang,”  kata Wein.

Ayat-ayat yang menyerukan kekerasan terhadap orang Yahudi, misalnya, yang berisi kisah ketika Nabi bermigrasi dari Makkah ke Madinah pada 622, Nabi membentuk aliansi dengan penduduk setempat, termasuk beberapa suku Yahudi. 

Diceritakan bahwa ketika suku-suku ini melanggar kontrak, dan menyebabkan kemurkaan Rasulullah dan pengikutnya. Kebencian terhadap Yahudi dalam tradisi Islam awal muncul dari posisi komunitas Muslim yang genting, yaitu bersaing dengan musuh sosial, jelas Wein.

"Ulama Islam selalu melihatnya kurang lebih seperti ini. Selama berabad-abad, kehidupan, budaya, ekonomi, dan pendidikan Yahudi berkembang pesat di bawah pemerintahan Islam. Sejarawan sepakat bahwa orang Yahudi memiliki kehidupan yang jauh lebih baik di bawah Islam daripada di bawah Kekristenan Eropa," ujarnya.

"Meskipun ada, tentu saja, kekerasan terhadap orang-orang dari agama lain di dunia Islam juga, para sarjana Islam memiliki lebih banyak masalah dengan orang Kristen dan doktrin Tritunggal Mahakudus, yang bagi mereka bernada politeisme," sambungnya.

Kini, topik anti-semit hingga rasisme ataupun kekerasan karena alasan ras dan agama, tersebar luas di negara-negara mayoritas Muslim. 

Namun, perkembangan prasangka anti-Semit di kalangan Muslim harus dikaitkan dengan faktor politik dan sosial daripada faktor agama, kata Wein.

"Tanpa penaklukan kolonial dunia Arab pada abad kesembilan belas dan kedua puluh, penyebaran pemikiran anti-Semit, baik di sana maupun di negara-negara Islam lainnya, hampir tidak terpikirkan," jelasnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement