Selasa 08 Dec 2020 06:30 WIB

1,2 Juta Vaksin Sinovac Masih Tunggu Izin Edar BPOM

1,2 Juta Vaksin Sinovac Masih Tunggu Izin Edar BPOM

Red:

Sebanyak 1,2 juta dosis vaksin COVID-19 siap suntik buatan Sinovac tiba di Indonesia pada Minggu (06/12) malam.

  • Pakar mengatakan vaksin Sinovac saat ini belum membuka laporan hasil sementara atau 'interim result'
  • Padahal laporan ini diperlukan sebelum BPOM mengeluarkan izin edar darurat
  • Pakar Australia mengatakan korupsi dan salah manajamen pernah menjadi masalah industri vaksin di China

 

Namun, vaksin tersebut tidak bisa langsung didistribusikan kepada masyarakat, karena masih harus diperiksa uji keamanannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Kedatangan vaksin dari China tersebut diumumkan Presiden Joko Widodo dalam keterangan pers di Jakarta, kemarin malam.

"Saya ingin menyampaikan satu kabar baik bahwa hari ini pemerintah sudah menerima 1,2 juta vaksin Covid-19. Vaksin ini buatan Sinovac, yang kita uji klinis di Bandung sejak Agustus 2020."

"Kita amat bersyukur, alhamdulillah, vaksin sudah tersedia, artinya kita bisa segera mencegah meluasnya wabah Covid-19," ucap Presiden Jokowi melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (06/12).

Menanggapi kedatangan vaksin COVID-19 dari China ini, Peneliti Biomolekuler dari Australian National University (ANU) dan Direktur Utama Lipotek Australia, Dr Ines Atmosukarto mengingatkan jika sampai saat ini Sinovac belum membuka laporan hasil sementara, atau interim result, dari vaksin yang diproduksinya.

Hal ini berbeda dengan vaksin buatan Pfizer dan Moderna yang sudah membuka hasil sementara tingkat efektivitas dan kemanjuran berdasarkan hasil uji coba yang dijalankannya.

 

Padahal, 'interim result' diperlukan agar BPOM bisa mengevaluasi hasil uji coba klinis yang dijalankan Sinovac untuk mengeluarkan izin edar darurat (emergency use authorisation atau EUA).

Izin edar darurat sebuah produk bisa diberikan oleh pihak yang berwenang, seperti BPOM dalam keadaan yang dianggap darurat, meskipun belum selesai uji klinisnya.

Jika nanti dinyatakan aman, BPOM akan mengeluarkan izin edar darurat dan barulah vaksin tersebut siap disuntikkan ke masyarakat.

"Jika tidak ada EUA dari BPOM maka vaksin tidak dapat diberikan. Jadi meskipun kita senang mendengar kabar bahwa beberapa dosis vaksin telah tiba, itu semua tidak ada gunanya kecuali jika diberikan [kepada masyarakat]," tutur Dr Ines.

"Kita juga harus memastikan bahwa vaksin tersebut disimpan dengan benar. Sekarang ada kepentingan tambahan untuk memastikan bahwa vaksin ini disimpan pada suhu yang tepat dan aman," tambahnya.

Selain evaluasi dan izin dari BPOM, Dr Ines juga menggarisbawahi pentingnya penilaian dokter dan para pasien yang akan divaksinasi untuk mengidentifkasi secara kasus per kasus semua risiko dan keuntungan untuk mencoba vaksin yang uji klinisnya masih belum tuntas.

 

Presiden Jokowi membenarkan izin yang masih harus dikeluarkan oleh BPOM sebelum vaksin dapat diterima masyarakat.

Ia mengatakan butuh waktu sekitar tiga hingga empat pekan bagi BPOM untuk mengkaji dan mengeluarkan izin edar darurat vaksin tersebut.

Siapa yang akan menerima vaksin?

Oktober lalu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Achmad Yurianto telah mengumumkan kelompok penerima vaksin yang menjadi prioritas.

"Dari diskusi yang kami lakukan dengan beberapa pihak, termasuk dengan pihak WHO, para ahli dan beberapa negara lain yang sudah melakukan vaksinasi, maka yang menjadi prioritas adalah tenaga kesehatan, karena mereka-lah yang akan lebih berisiko, dan sangat berisiko untuk tertular dan menjadi sakit oleh COVID-19," kata Yuri, Oktober lalu.

Karena pertimbangan tersebut, menurutnya, prioritas vaksin yang pertama diberikan kepada tenaga kesehatan yang bertugas di RS Rujukan yang melayani pasien COVID-19.

Kemudian, urutan selanjutnya adalah petugas laboratorium yang bertugas di tempat pemeriksaan spesimen COVID-19 karena berhadapan langsung dengan virus Corona.

Pada urutan ketiga adalah kelompok yang bekerja di sektor pelayanan masyarakat, misalnya aparat yang bertugas dalam operasi yustisi kepatuhan protokol kesehatan.

"Mereka memiliki risiko yang besar diantaranya teman-teman kita dari Satpol PP, Polri, TNI yang bersama-sama melakukan operasi yustisi terhadap protokol kesehatan," tambahnya.

Selain itu, kelompok yang akan mendapat prioritas vaksin berikutnya adalah pegawai yang bertugas di bandara, stasiun, pelabuhan, juga berdasarkan risiko terhadap COVID-19.

 

Vaksin buatan China: korupsi dan salah manajemen

Sinovac adalah sebuah perusahaan swasta yang didukung oleh Pemerintah China dan sebelumnya pernah membuat vaksin SARS, namun berhenti ketika virus tersebut menghilang di tahun 2003.

Belakangan mereka terlibat dalam pembuatan vaksin flu burung dan vaksin untuk mengobati hepatitis.

Pengembangan dan penelitian vaksin COVID-19 awalnya menemui hambatan di China, karena jumlah kasus virus corona di negara tersebut menurun, sehingga sulit menemukan warga yang tertular untuk proses uji coba.

Sinovac sudah meluncurkan uji coba vaksin hingga fase 3 dengan bantuan lebih dari 1.600 peserta di Indonesia, sebulan setelah uji coba dilakukan di Brasil dengan sekitar 900 peserta.

Namun ada kekhawatiran tentang kualitas vaksin China, mengingat riwayat skandal pembuatan vaksin China di masa lalu.

 

Sebuah penyelidikan sekitar sepuluh tahun lalu mengungkapkan empat anak tewas dan 74 lainnya terluka di provinsi Shanxi setelah menerima vaksin buatan China yang tidak disimpan dengan benar.

Ketidakpercayaan terhadap sistem vaksin negara ini diperburuk menyusul skandal lain pada tahun 2016, ketika terungkap vaksin kadaluwarsa senilai puluhan juta dolar yang dijual di China selama bertahun-tahun.

Tapi Dr Hui Yang, profesor dari Monash University di Melbourne mengatakan masalah-masalah yang dihadapi industri vaksin China lebih terkait dengan produksi yang buruk dan adanya korupsi di masa lalu, ketimbang kualitas penelitian biomedis di China.

"Ini bukan tentang sains. Ini tentang manajemen," kata Dr Yang, yang juga pakar kebijakan dan manajemen kesehatan masyarakat China di Universitas Peking.

"Faktor-faktor seperti operasi yang salah, korupsi dan salah urus mengakibatkan masalah dengan produksi vaksin di China."

Sistem 'cold chain', yakni sebuah sistem untuk mengangkut dan menyimpan vaksin dalam kisaran suhu aman 2 hingga 8 derajat Celcius, adalah tantangan terbesar untuk manajemen vaksin yang tepat di China, di samping masalah lain seperti kontaminasi.

 

Presiden Jokowi 'siap' disuntik pertama

Dengan bekal 1,2 juta dosis vaksin siap suntik yang dimiliki Indonesia sekarang, jika BPOM kelak mengeluarkan izin edar darurat, maka merujuk ke daftar prioritas Kementerian Kesehatan tadi, tenaga kesehatan akan menjadi kelompok pertama penerima vaksin.

Namun, karena diperlukan dua dosis per orang untuk kelengkapan vaksin COVID-19, berarti jumlah dosis yang ada baru bisa menjangkau setengah dari total tenaga kesehatan yang diperkirakan mencapai 1,2 juta orang.

Presiden Joko Widodo sendiri bulan lalu pernah menyatakan kesiapannya untuk menjadi orang pertama yang disuntik oleh vaksin COVID-19 untuk menumbuhkan rasa percaya masyarakat.

"Kalau nanti diputuskan bahwa nanti yang pertama disuntik presiden saya siap. Simbol kepercayaan, kalau presiden sudah disuntik maka kemudian rakyat tahu bahwa (vaksin) ini dapat dipercaya," ucap Jokowi dalam sebuah wawancara televisi pada pertengahan November lalu.

Presiden Jokowi menambahkan pada bulan Desember ini juga rencananya akan tiba juga 15 juta dosis vaksin bahan baku curah.

Selain itu, Pemerintah Indonesia mengusahakan 1,8 juta dosis vaksin siap suntik dan 30 juta dosis bahan baku curah pembuatan vaksin COVID-19 untuk diterima Indonesia pada Januari 2021.

Laporan tambahan Bang Xiao

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement