Rabu 02 Dec 2020 18:01 WIB

Selandia Baru Umumkan Darurat Iklim

Selandia Baru mengumumkan keadaan darurat perubahan iklim pada Rabu (2/12)

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern. Selandia Baru mengumumkan keadaan darurat perubahan iklim pada Rabu (2/12). Ilustrasi.
Foto: EPA-EFE/DAVID ROWLAND
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern. Selandia Baru mengumumkan keadaan darurat perubahan iklim pada Rabu (2/12). Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON - Selandia Baru mengumumkan keadaan darurat perubahan iklim, Rabu (2/12) waktu setempat. Negara tersebut juga berkomitmen menuju netral karbon pada 2025.

Perdana Menteri Jacinda Ardern menyebut perubahan iklim sebagai salah satu tantangan terbesar di zaman ini. Sebuah mosi yang diajukan di parlemen mengakui dampak merusak yang akan ditimbulkan oleh cuaca yang tidak menentu dan terbilang ekstrem terhadap Selandia Baru.

Baca Juga

"Perubahan iklim terhadap Selandia Baru juga berdampak pada kesejahteraan warga Selandia Baru, pada industri utama kami, ketersediaan air, dan kesehatan publik melalui banjir, kenaikan permukaan laut, dan kebakaran hutan," tulis mosi tersebut dilansir laman Guardian, Rabu (2/12).

Mosi Selandia Baru ini mengakui tren yang mengkhawatirkan dalam penurunan spesies dan keanekaragaman hayati global, termasuk penurunan keanekaragaman hayati asli Selandia Baru. Deklarasi darurat iklim didukung oleh Green Party dan Maori Party. Sedangkan National and Act parties menentang.

Berbicara di parlemen setelah diperkenalkan, Ardern mengatakan negara harus bertindak dengan mendesak menyoal perubahan iklim. "Terserah kami untuk memastikan kami menunjukkan rencana tindakan dan alasan untuk harapan," katanya.

Ardern mengatakan sektor pemerintah hanya akan diminta untuk membeli kendaraan listrik atau hibrida, armada akan berkurang dari waktu ke waktu sebesar 20 persen. Semua 200 boiler berbahan bakar batu bara yang digunakan di gedung-gedung layanan publik akan dihapuskan.

Mosi tersebut juga menyerukan pengakuan atas kemajuan signifikan dalam memenuhi tantangan oleh negara tersebut melalui penandatanganan Perjanjian Paris dan pengesahan Undang-Undang Nol Karbon 2019 yang mengikat Selandia Baru untuk mengurangi emisi. UU baru menjadikan Selandia Baru sebagai salah satu dari sedikit negara yang memiliki tujuan nol emisi yang disahkan dalam sebuah undang-undang.

Deklarasi darurat iklim juga mencatat pemerintah akan mendemonstrasikan apa yang mungkin dilakukan kepada sektor ekonomi lain dengan mengurangi emisi pemerintah sendiri dan menjadi pemerintah netral karbon pada tahun 2025. Namun partai-partai oposisi mendeskripsikan langkah tersebut sebagai aksi publisitas.

"Kami pikir tidak apa-apa untuk menyatakan keadaan darurat tetapi tidak ada rencana yang tepat tentang bagaimana menanganinya," kata pemimpin Partai Nasional Judith Collins Radio Selandia Baru.

Ada 32 negara lain telah secara resmi mengakui krisis global dengan menyatakan darurat iklim. Selandia Baru hanya menyumbang 0,17 persen dari emisi global. Namun itu termasuk yang tinggi untuk ukuran yang menempatkannya di urutan ke-17 dari 32 negara OECD.

Emisi bersihnya telah meningkat 60 persen dalam dua dekade terakhir. Sumber emisi CO2 terbesar di negara ini adalah transportasi jalan raya, meski sebagian besar gas rumah kaca berasal dari pertanian.

Janji Selandia Baru telah dilihat secara internasional terbilang kurang dari yang disyaratkan. Pemerintah Partai Buruh periode kedua juga belum memperkenalkan kebijakan pemotongan karbon yang akan menempatkan negara pada jalur yang tepat untuk memenuhi target emisinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement