Kamis 22 Oct 2020 18:43 WIB

Keluhan Pusat ke Daerah Akibat Rp 252 T Dana yang Diparkir

Pemerintah daerah diminta tidak cari aman dan percepat penyerapan anggaran.

Seorang warga sambil menggendong bayinya menerima Bantuan Sosial Tunai (BST) di Kantor Pos Pekanbaru, Riau, Senin (19/10). Penyerapan anggaran di tingkat daerah yang masih rendah menjadi sorotan pemerintah pusat. Daerah yang lebih memarkir dananya di bank dianggap tidak tanggap  terhadap upaya pemulihan ekonomi dan kesehatan akibat Covid-19.
Foto: ANTARA/FB Anggoro
Seorang warga sambil menggendong bayinya menerima Bantuan Sosial Tunai (BST) di Kantor Pos Pekanbaru, Riau, Senin (19/10). Penyerapan anggaran di tingkat daerah yang masih rendah menjadi sorotan pemerintah pusat. Daerah yang lebih memarkir dananya di bank dianggap tidak tanggap terhadap upaya pemulihan ekonomi dan kesehatan akibat Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Adinda Pryanka, Dessy Suciati Saputri, Sapto Andika Candra

Pemerintah pusat mengkritik penyerapan anggaran di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dalam kondisi darurat kesehatan dan ekonomi akibat pandemi, pemerintah pusat menyayangkan masih tingginya nilai dana pemerintah daerah yang diparkir di bank.

Baca Juga

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian mengatakan, sejumlah dana pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota yang disimpan di bank mencapai Rp 252,78 triliun per 30 September 2020. Padahal seharusnya dana pemerintah tersebut tidak diparkir, melainkan digunakan untuk melaksanakan program daerah.

"Ternyata ada beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang kalau ditotal itu disimpan di bank sebanyak 252,78 triliun," ujar Tito dalam rapat koordinasi nasional pengendalian inflasi 2020 secara daring, Kamis (22/10). Akibatnya, uang pemerintah daerah (pemda) tidak beredar ke masyarakat melalui kegiatan/program daerah.

Menurut Tito, uang tersebut tetap beredar tetapi melalui kredit bank kepada sejumlah pengusaha tertentu. "Saya nggak ngerti apa ada pengusaha kecil menengah juga yang diberikan prioritas (oleh bank)," kata Tito.

Tito mengatakan, hal ini menjadi salah satu penyebab realisasi belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) masih rendah. Realisasi APBD provinsi yang melampaui rata-rata anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar 60,77 persen baru ada delapan provinsi.

Sementara realisasi APBD 23 provinsi lainnya di antara 40 persen sampai 60,77 persen. Sedangkan, ada tiga provinsi yang realisasi APBD di bawah 40 persen. Data diolah per 30 September 2020.

Tito meminta kepala daerah segera menggunakan dana yang ada untuk kegiatan atau program daerah dalam rangka menangani krisis pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Terutama dalam menjaga tingkat inflasi yang kondusif.

"Ini mohon rekan-rekan kepala daerah tolong tidak cari aman, tapi bagaimana betul-betul dana yang ada itu dibuat program yang betul-betul diperlukan dalam rangka krisis pandemi ini dalam rangka pemulihan ekonomi, spesifik menjaga tingkat inflasi yang kondusif tadi," tutur Tito.

Pernyataan Tito didukung dengan data Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia pun mencatat beberapa belanja pemda sampai dengan akhir kuartal ketiga masih minimal. Khususnya belanja yang terkait dengan pemulihan ekonomi di tingkat daerah.

Dari sisi kesehatan, Sri mencatat, belanja pemda baru mencapai 43 persen hingga akhir September. Dari total alokasi Rp 30,4 triliun, baru Rp 13,3 triliun di antaranya yang dibelanjakan sampai dengan akhir September. Padahal, anggaran itu bisa dimaksimalkan untuk membantu pencegahan dan penanganan penyebaran virus corona.

Sri menyayangkan tingkat penyerapan yang rendah tersebut, mengingat pemerintah pusat sudah mencoba mengalokasikan serta mendistribusikan anggaran secara maksimal. "Kita melihat, di tingkat daerah, penyerapan masih perlu ditingkatkan," ujarnya.

Realisasi yang rendah juga terjadi untuk belanja jaring pengaman sosial. Tingkat penyerapannya baru sekitar 51 persen, yaitu Rp 11,7 triliun dari total alokasi Rp 22,8 triliun. Sri berharap, sisa 49 persen dari alokasi anggaran itu dapat segera diserap untuk membantu masyarakat.

Begitupun dengan penyerapan anggaran untuk mendukung Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Pemda baru membelanjakan Rp 2,6 triliun dari alokasi di APBD sebanyak RP 19,42 triliun sampai dengan akhir September. Artinya, baru sekitar 13,7 persen yang digunakan pemda untuk membantu UKM menghadapi tekanan ekonomi akibat pandemi.

Sri menjelaskan, rendahnya tingkat penyerapan itu menandakan, banyak halangan atau kendala di sisi non anggaran yang masih perlu diatasi bersama pemerintah pusat dengan pemda. "Sehingga, dunia usaha, masyarakat, bisa segera dapatkan manfaat dari desain APBN dan APBD," ucapnya.

Sri mengakui, postur kas negara maupun daerah memang mengalami shock besar pada tahun ini akibat pandemi Covid-19. Tapi, menurutnya, pemerintah sudah berupaya melakukan berbagai penyesuaian yang seharusnya dapat diakselerasi oleh pemda.

Sebelumnya, Sri juga sempat memberikan catatan kepada pemda mengenai anggaran yang mengendap di rekening mereka. Kemenkeu mencatat, sampai dengan akhir September, kas yang berada di kas daerah mencapai Rp 239,5 triliun, naik Rp 12,4 triliun dibandingkan realisasi bulan sebelumnya.

Sri memastikan, pemerintah pusat terus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap aliran transfer ke pemda. Sebab, ia tidak ingin arus anggaran yang sudah dialokasikan ke daerah dengan tujuan pembangunan mereka justru terhenti di kas pemda.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan pemerintah daerah mempercepat realisasi serapan APBD, khususnya belanja bantuan sosial dan belanja modal untuk pemulihan ekonomi. “Saya harapkan apa yang telah dilakukan pemerintah pusat diperkuat lagi di daerah dengan percepatan realisasi APBD,” ujar Jokowi.

Jokowi juga menyoroti kebijakan inflasi yang berbeda tahun ini. Bila biasanya pemerintah berusaha menjaga harga bahan pokok demi mempertahankan angka inflasi di level rendah, tahun ini justru angka inflasi dijaga agar tidak terlalu anjlok.

Angka inflasi yang rendah memang memberi ruang bagi masyarakat untuk berbelanja. Namun, hal ini juga ditakutkan membuat iklim usaha jadi lesu.

"Kondisi perekonomian di tahun 2020 sangat berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kali ini kita dituntut mampu mempertahankan tingkat inflasi agar tidak terlalu rendah. Inflasi harus kita jaga pada titik keseimbangan agar memberikan stimulus pada produsen untuk tetap berproduksi," ujar Presiden Jokowi.

Inflasi rendah sendiri juga bisa diartikan sebagai lemahnya daya beli masyarakat. Daya beli yang rendah membuat demand terganggung dan berujung pada inflasi rendah atau bahkan deflasi. Hal ini merupakan sinyal buruk bagi pengusaha.

Jokowi menjelaskan, di tengah pandemi yang memukul perekonomian ini, pemerintah perlu menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan. Hal ini dilakukan agar saat perekonomian nanti mulai pulih, harga bahan pokok tidak melonjak atau malah jatuh. Ia ingin harga bisa stabil begitu pandemi Covid-19 perlahan mereda.

"Karena itu, kebijakan pengendalian inflasi tidak hanya fokus pada upaya-upaya pengendalian harga, diarahkan juga agar daya beli masyarakat terjaga," ujarnya.

Demi menjaga daya beli masyarakat, pemerintah juga jor-joran menyaluran bantuan sosial, seperti PKH, BLT desa, hingga subsidi gaji. Seluruh program perlindungan sosial ini diharapkan mampu menopang perekonomian keluarga yang selama ini terdampak Covid-19. Bansos tunai juga diharapkan bisa meningkatkan belanja rumah tangga.

"Menaikkan kendali demand dan akhirnya akan mendorong tumbuhnya supply," ujar Presiden.

photo
Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang ditempatkan pemerintah di perbankan nasional. - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement