Senin 19 Oct 2020 15:35 WIB

MUI akan Kaji Naskah UU Cipta Kerja dari Pemerintah

MUI akan mengkaji titik lemah dan kekuatan UU Cipta Kerja

Rep: Fuji E Permana/ Red: Esthi Maharani
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Majelis Ulama Indonesia, Muhyiddin Junaidi
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Majelis Ulama Indonesia, Muhyiddin Junaidi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menerima naskah Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dari Menteri Sekretaris Negara Pratikno. MUI akan segera mengkaji naskah UU tersebut dan menyampaikan hasilnya ke pemerintah.

"Kita sudah punya naskah (UU Cipta Kerja) yang asli, kita sudah mulai membahas UU Cipta Kerja ini bukan berdasarkan informasi dari pihak yang tidak jelas," kata Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (Waketum MUI), KH Muhyiddin Junaidi kepada Republika, Senin (19/10).  

 

Kiai Muhyiddin mengatakan, MUI akan mengkaji titik lemah dan kekuatan UU Cipta Kerja sehingga tahu apa saja yang harus dihilangkan dan dipertahankan. Untuk itu MUI sudah membentuk tim terdiri dar pakar hukum dan perundang-undangan serta ahli ketatanegaraan.

Ia menyampaikan, hasil kajian MUI dengan para pakar terhadap UU Cipta Kera akan disampaikan ke pemerintah. Nanti terserah pemerintah mau bagaimana menanggapi masukan dari MUI.

"Kalau pemerintah masih ngotot dan tidak mau mendengarkan saran dari kita, ya kita serahkan kepada rakyat, artinya terserah rakyat maunya seperti apa," ujarnya.

Kiai Muhyiddin menegaskan, MUI nanti menyampaikan aspirasi dan hasil kajian UU Cipta Kerja kepada pemerintah dengan jalur resmi. Kalau pemerintah masih enggan menanggapi dan mendengarkan, maka itu bukan salah MUI, itu salah pemerintah yang tidak mau mendengarkan aspirasi.

MUI berharap agar pemerintah mendengarkan aspirasi rakyat. Sudah sekian banyak protes kepada pemerintah dan DPR, mengapa tidak didengarkan. Waketum MUI menegaskan, jangan sampai aspirasi rakyat tumpah ke jalan-jalan sehingga akan menimbulkan pro dan kontra, kasihan rakyat.

"Kalau paradigmanya adalah arogansi kekuasaan, mentang-mentang berkuasa, ini bukan penyelesaian yang terbaik dari negarawan yang bijak, negarawan yang bijak itu tahu mengapa dirinya diprotes, ini sudah diprotes di mana-mana tapi masih tidak mengerti," kata Kiai Muhyiddin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement