Kamis 13 Aug 2020 20:20 WIB

AS dan Turki Bahas Zona Demiliterisasi di Libya

AS dan Turki juga membahas penarikan pasukan asing dari Libya

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Anggota gerilyawan antipemerintah memegang senjata antiserangan udara di depan kilang minyak Ras Lanouf, di timur Libya, 5 Maret 2011.
Foto: AP Photo/Hussein Malla
Anggota gerilyawan antipemerintah memegang senjata antiserangan udara di depan kilang minyak Ras Lanouf, di timur Libya, 5 Maret 2011.

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Libya mengatakan, Presiden Donald Trump dan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan membahas langkah-langkah zona demiliterisasi di Libya tengah. Dalam sebuah panggilan telepon, kedua pemimpin negara juga membahas tentang penarikan pasukan asing dan tentara bayaran dari negara kaya minyak itu.

Trump dan Erdogan juga menekankan perlunya National Oil Corporation melanjutkan operasionalnya. Panggilan telepon itu diikuti dengan kunjungan Duta Besar AS Richard Norland ke pejabat senior Turki di Ankara.

Baca Juga

"Ada kebutuhan mendesak untuk mengakhri konflik di Libya, dan kembali ke dialog yang difasilitiasi oleh PBB untuk kedaulatan Libya dan integritas teritorial," ujar Kedutaan Besar AS di Libya dalam sebuah pernyataan, dilansir Aljazirah, Kamis (13/8).

Awal pekan ini, Norland berada di Kairo untuk mendiskusikan masalah Libya. Dalam pertemuan dengan para pejabat Mesir, Norland membahas tentang langkah-langkah untuk mengakhiri konflik di Libya.

Libya jatuh ke dalam kekacauan ketika sebuah gerakan pemberontakan yang didukung NATO telah menggulingkan penguasa Muammar Qaddafi pada 2011. Sejak saat itu, Libya terpecah menjadi dua administrasi pemerintahan yang berbasis di timur dan barat.

Pada April 2019, Libyan National Army (LNA) yang berbasis di timur dan dipimpin oleh Khalifa Haftar melancarkan serangan untuk merebut ibu kota Tripoli dari Government of National Accord (GNA), yang diakui secara internasional. Namun, serangan LNA berhasil digagalkan oleh GNA yang mendapatkan dukungan penuh dari Turki. Keberhasilan GNA mendorong mundur tentara LNA, karena bantuan drone yang dipasok oleh Turki.

Di tengah meningkatnya ketegangan, Mesir mengancam akan mengirim pasukan militernya ke Libya jika GNA mencoba merebut kota Sirte. Kota itu sangat strategis karena merupakan pintu gerbang ke ladang minyak di timur Libya.

Bulan lalu, parlemen Mesir memberi lampu hijau untuk kemungkinan intervensi militer di Libya. Tetapi Turki memperingatkan intervensi Mesir di Libya akan menghambat upaya untuk mengakhiri konflik. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement