Sabtu 04 Jul 2020 02:50 WIB

Almarhum Punya Utang Sholat, Bagaimana Menggantinya?

Sholat lima waktu adalah wajib bagi tiap individu saat masih hidup.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Sholat lima waktu adalah wajib bagi tiap individu saat masih hidup. Ilustrasi sholat
Foto: republika/prayogi
Sholat lima waktu adalah wajib bagi tiap individu saat masih hidup. Ilustrasi sholat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Para ulama memiliki pendapat berbeda mengenai perlu atau tidaknya meng-qadla’ atau membayar fidyah sebagai ganti terhadap shalat yang ditinggalkan seseorang yang telah wafat. 

Perbedaan pendapat ini disebabkan karena tidak adanya satu pun nash Alquran atau hadits yang secara jelas menerangkan masalah ini.   

Baca Juga

“Terkait fidyah, Alquran hanya menerangkan tentang fidyah puasa bagi orang yang tidak mampu melaksanakannya karena tua renta atau sakit yang kronis, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 184,” tulis MUI Sumatra Utara dalam website resminya yang dikutip Republika.co.id, Jumat (3/7). 

Menurut mayoritas ulama, termasuk Syekh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fathul Mu’in, berpendapat, jika ada orang yang sudah wafat mempunyai utang sholat fardlu, maka tidak perlu di-qadla’ atau dibayarkan fidyah-nya.   

Sementara itu menurut sebagian ulama lainnya seperti as-Subki dan Ibnu Burhan berpendapat, jika ada orang yang sudah wafat dan mempunyai utang sholat Fardlu, maka keluarga perlu membayarkan fidyah-nya jika almarhum meninggalkan harta benda (tirkah).   

Pendapat ini juga didukung para pengikut Madzhab Hanafi. Mereka berpendapat, jika ada orang sudah wafat mempunyai hutang shalat dan puasa, maka keluarga perlu membayarkan fidyah-nya kepada kaum fakir miskin. Pembayaran fidyah tersebut diambilkan dari harta peninggalan (tirkah) atau dari harta keluarganya.  

Sayid Bakri Muhammad Syatho, dalam kitabnya, I’anatut Thalibin, menjelaskan, “Barangsiapa wafat dan dia masih mempunyai utang sholat, maka tidak perlu diqadha dan atau dibayarkan fidyah-nya. Menurut sebagian pendapat para imam mujtahid, bahwa sholat tersebut harus diqadha. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan yang lain. Sehubungan dengan hal itu, sebagian ulama kita (Mazhab Syafi’i) memilih pendapat ini, bahkan Imam as-Subki mempraktikkannya sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan salah seorang kerabatnya.” 

Sehubungan dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih, Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa sholat yang telah ditinggalkan sewaktu masih hidup dapat di-qadha atau diganti dengan membayar fidyah.

Namun MUI DKI Jakarta menegaskan, bukan berarti orang yang masih hidup boleh meninggalkan sholat untuk digantikan dengan membayar fidyah atau berwasiat kepada keluarganya agar sesudah wafat, sholat-sholat yang ditinggalkannya diqadha  atau dibayar dengan fidyah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement