Ahad 10 Jun 2018 20:24 WIB

OTT KPK Marak, PDIP: Terkesan Ada Kepentingan Tertentu

Sekjen PDI Perjuangan merasa kesan yang muncul dari OTT ini ada kepentingan politik.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bayu Hermawan
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto
Foto: ROL/Havid Al Vizki
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PDI Perjuangan mengkritisi kinerja KPK yang masih fokus pada Operasi Tangkap Tangan (OTT), dibandingkan sistem pencegahan korupsi. Termasuk dua kader PDIP yang baru-baru ini ditangkap KPK yakni Walikota Blitar Samanhudi dan Bupati Tulungagung Sahri Mulyo yang juga calon bupati terkuat.

Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto merasa kesan yang muncul dari OTT ini adanya kepentingan politik ini. Ini dapat dicermati pada kasus OTT terhadap Samanhudi dan Sahri Mulyo. "Mereka berdua tidak terkena OTT secara langsung. Namun mengapa beberapa media online tertentu di Jakarta dalam waktu yang sangat singkat memberitakan OTT kedua orang tersebut, seakan menggambarkan bahwa keduanya sudah menjadi target dan memang harus ditangkap baik melalui OTT langsung maupun tidak langsung," ujar Hasto dalam keterangan kepada wartawan, Ahad (10/6).

Menurut Hasto yang ditangkap di Kota Blitar faktanya seorang penjahit, dan bukan pejabat negara. Lalu di Kab Tulungagung seorang kepala dinas dan perantara, bukan Sahri Mulyo. Kesemuanya lalu dikembangkan bahwa hal tersebut sebagai OTT terhadap Samanhudi dan Sahri Mulyo. "Ada apa dibalik ini?," ucapnya.

Berbagai OTT ini, menurut Hasto bukti sistem pecegahan korupsi KPK selama ini masih sangat lemah atau 'mandul'. Hasto Kristiyanto menegaskan PDIP ikut geram dan marah dengan kader yang melakukan tindak pidana korupsi. Namun PDIP menilai OTT yang dilakukan KPK selama ini memiliki kecenderungan hanya yang memiliki eletabilitas tinggi.

"Kami sudah memberikan sanksi tertinggi yang bisa kami lakukan, yaitu pemecatan seketika, tidak mendapat bantuan hukum dan mengakhiri karir politiknya," kata Hasto.

Tetapi ia heran kenapa seperti ini masih terus terjadi? Dengan begitu banyak kepala daerah yang sudah ditangkap. Pada kenyataannya, menurut dia, saat ini publik disuguhkan menikmati drama OTT tersebut secara asyik.

"Apakah memang sudah begitu rusak karakter dan mentalitas pejabat bangsa ini, atau karena sistem pemilihan langsung yang mendorong sikap koruptif, atau pencegahan korupsi yang mandul?," imbuh Hasto.

Ia menegaskan PDIP mendukung sepenuhnya pemberantasan korupsi. Dan ia mengklaim PDIP tercatat sebagai Partai yang langsung memberikan sanksi maksimum bagi para koruptor. Hasto pun menanyakan soal OTT di Blitar dan Tulungagung yang menyasar kader PDIP.

"Saat ini saya sedang berada di Kota Blitar dan Tulungagung. Banyak yang bertanya, apakah OTT ini murni upaya pemberantasan hukum, atau sebaliknya, ada kepentingan politik yang memengaruhinya?," kata Hasto.

Sebab, lanjut dia, mengingat yang menjadi sasaran adalah mereka yang memiliki elektabilitas tertinggi dan merupakan pemimpin yang sangat mengakar. Samanhudi misalnya, terpilih kedua kalinya dengan suara lebih dari 92 persen.

PDIP sebut Hasto, sejatinya memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada KPK. Manakala OTT tersebut dilakukan dengan berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dalam hukum dan sesuai mekanisme hukum itu sendiri.

Namun ia mensinyalir OTT tersebut dipengaruhi oleh kontestasi pilkada. Sebab, tidak ada yang bisa memastikan segala sesuatunya dilakukan secara proper dan sesuai mekanisme hukum yang jujur dan berkeadilan.

Di masa lalu, hal itu pernah dilakukan oknum KPK, misal terkait dengan pencoretan bakal calon menteri yang dilakukan tidak sesuai prosedur. Demikian juga soal kebocoran sprindik Anas Urbaningrum misalnya.

Hasto berharap KPK melakukan kinerjanya tetap sesuai dengan SOP yang ada, dan OTT tanpa kepentingan subyektif demi agenda tertentu. Bila ini terjadi, maka banyaknya pejabat daerah yang terkena OTT tidak hanya membuat pemerintahan daerah pincang akibat korupsi. Tetapi lebih jauh lagi, hal tersebut sudah menyentuh aspek yang paling mendasar, kegagalan sistem pencegahan korupsi negara.

Baca juga: KPK Masih Periksa Intensif Wali Kota Blitar

Seperti diberitakan sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Bupati Tulungagung nonaktif Syahri Mulyo dan Wali Kota Blitar Muh Samanhudi Anwar bersama empat orang lainnya sebagai tersangka suap di Pemkab Tulungagung dan Pemkot Blitar Tahun Anggaran 2018.

"Disimpulkan adanya dugaaan tindak pidana korupsi menerima hadiah atau janji oleh Bupati Tulungagung terkait pengadaan barang dan jasa," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Jumat dini hari (8/6).

Demikian halnya Wali Kota Blitar juga diduga menerima hadiah atau janji terkait pengadaan barang dan jasa di Pemkot Blitar Tahun Anggaran 2018. KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dengan menetapkan enam tersangka.

Untuk perkara di Tulungagung diduga sebagai penerima, yakni Syahri Mulyo (SM), Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Tulung Agung Sutrisno (SUT), dan Agung Prayitno (AP) dari pihak swasta. Sedangkan diduga sebagai pemberi, yaitu Susilo Prabowo (SP) dari unsur swasta atau kontraktor.

Sementara untuk perkara di Blitar diduga sebagai penerima antara lain Muh Samanhudi Anwar (MSA) dan Bambang Purnomo (BP) dari unsur swasta. Sedangkan diduga sebagai pemberi, yakni Susilo Prabowo (SP) dari unsur swasta atau kontraktor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement