Jumat 01 Jan 2016 07:00 WIB

Mengiringi Kereta Jenazah Keluarga Tionghoa

Mengiringi kereta jenazah keluarga Tionghoa.
Foto: Arsip Nasional
Mengiringi kereta jenazah keluarga Tionghoa.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shabab

Peristiwa seperti yang terlihat dalam foto pada 1940-an ini terjadi di suatu tempat di Jakarta. Peristiwa tersebut kini sudah tidak kita dapati lagi.

Masyarakat Tionghoa yang masih menganut kepercayaan leluhurnya saat itu, bila meninggal dunia, jenazahnya dikremasi dan abunya ditaburkan ke laut. Ada pula yang menyimpannya di rumah abu atau di kediamannya. Tapi, tidak demikian sampai 1960-an.

Kala itu, di Jakarta, terdapat belasan pemakaman Cina yang disebut Sentiong. Pemakaman itu kini telah berubah fungsi menjadi perumahan atau perkantoran, bahkan mal. Waktu itu, jika ada seorang Cina yang meninggal dunia --lebih-lebih kepala keluarganya-- akan mengalami banyak ritual menjelang dan saat-saat pemakaman.

Dalam peristiwa itu, terdapat kereta pembawa peti jenazah yang ditarik empat ekor kuda. Di bagian belakang, ada keluarga yang mengiringi dengan pakaian dan peci putih sebagai tanda berduka.

Kereta beroda empat dengan sais dan pengawal-pengawal berpakaian seragam menunjukkan yang meninggal dunia adalah seorang kaya raya. Saat itu, bila seorang Tionghoa meninggal dunia, didatangkan seorang suhu dari Klenteng yang bertugas memimpin prosesi pemakaman.

Sebagai tanda berkabung, pria dari keluarga itu diharuskan memakai pakaian dari kain belacu yang mirip piyama. Pakaian ini mereka pakai secara terbalik, yaitu jahitannya berada di luar. Mereka juga memakai ikat pinggang dan ikat kepala dari belacu.

Sedangkan, perempuan dari keluarga itu memakai kain kebaya dan penutup kepala yang puncaknya lancip. Bahannya juga dari kain belacu.

Seperti dituturkan Oei Hong Kian, dokter gigi Presiden Soekarno, saat kakeknya meninggal pada 1930-an, kain dan baju belasungkawa ini harus dikenakan sebagai pakaian sehari-hari hari setelah pemakaman. Pakaian itu dipakai selama beberapa hari.

Mereka juga memakai sandal putih dari kain. Sepatu dan sandal dari kulit tidak boleh dipakai. Semua perhiasan dilepaskan, termasuk cincin dari emas.

Jenazah ditutup peti dari kayu jati selama beberapa hari. Waktu pemakaman ditentukan atas nasihat suhu setelah dicari hari baik. Pukul 09.00 adalah waktu yang paling baik untuk berangkat dari rumah duka.

Di rumah duka, di depan peti jenazah, dipasang bermacam-macam sajian. Keluarga menangis meraung-raung hingga semua orang menangis. Di belakang peti jenazah, diletakkan foto sebesar aslinya.

Semua anak, cucu, dan kerabat tetap tinggal untuk bersembahyang selama tiga kali sehari. Sebelum jenazah berangkat, buah semangka dibanting di jalan.

"Tujuannya untuk menyenangkan penguasa dunia bawah sehingga kakek tidak diganggu," tulis drg Oei Hong Kian. Kira-kira, demikianlah suasana saat kematian warga Tionghoa pada 1940-an.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement