Rabu 09 Dec 2015 07:00 WIB

Presiden Sukarno Terima Bendera Pusaka

Presiden Sukarno menerima bendera pusaka.
Foto: Arsip Nasional
Presiden Sukarno menerima bendera pusaka.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Presiden Sukarno didampingi dua putrinya Rachmawati (kiri) dan Sukmawati (kanan) tengah membuka peti bendera pusaka dalam peringatan Hari Ulang Tahun ke-16 Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Jakarta, 17 Agustus 1961.

Bendera pusaka itu diserahkan seorang Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera). Bendera Pusaka dikibarkan terakhir kali pada 17 Agustus 1968.

Pada ulang tahun kemerdekaan RI selanjutnya, agar tidak rusak, bendera pusaka tidak dikibarkan, tapi hanya disertakan. Yang dikibarkan hanya duplikatnya yang dibuat dari sutra alam Indonesia. Bagian berwarna merah dan putih bendera ini tidak disambung dengan jahitan, tapi merupakan satu kesatuan.

Bendera pusaka dipakai untuk menyebut bendera yang dikibarkan pertama kali pada saat bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Bendera yang berukuran 178 x 274 sentimeter ini dijahit Ibu Fatmawati, istri Bung Karno, sekitar pertengahan Oktober 1944 di gedung Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi 56).

Bendera selesai dijahit dalam dua hari. Sebelum kemerdekaan, bendera Merah Putih sebetulnya sudah digunakan, misalnya, dalam Kongres Pemuda 1928. Tetapi, ketika itu bendera Merah Putih belum diakui dunia internasional karena RI belum dianggap ada.

Amanat Presiden Sukarno pada HUT kemerdekaan RI 17 Agustus 1961 berjudul RE-SO-PIM (Revolusi-Sosialisme Indonesia-Pimpinan Nasional). Bung Karno dalam setiap pidato 17 Agustus di Istana dan dihadiri puluhan ribu rakyat di Lapangan Monas, selalu memberikan judul dalam pidatonya.

Seperti, pada 17 Agustus 1959 berjudul Manipol (Manifesto Politik). Karena, sejak 5 Juli 1959 Indonesia kembali ke UUD 1945 dan meninggalkan sistem politik Demokrasi Liberal.

Pada 17 Agustus 1960 pidatonya dinamakan Laksana Malaikat Menyerbu dari Langit, Jalannya Revolusi Kita (Pidato Jarek). Judul pidato 17 Agustus 1962 dinamakan Tahun Kemenangan. Menurut Bung Karno, revolusi Indonesia sekarang sudah naik kepada tingkat self propelling growth: Kita maju atas dasar kemajuan! Kita mekar atas dasar kemekaran!

Pada 17 Agustus berikutnya (1963) ia memberi judul GESURI (Genta Suara Revolusi) dan setahun kemudian (1964) berjudul Tahun Vivere Pericoloso (Nyerempet-nyerempet Bahaya). Dalam pidato ini, Bung Karno menyuruh rakyat Indonesia bersiap meningkatkan 'Pengganyangan' terhadap Malaysia dengan Dwi Komando Rakyat.

Pada 1965 ia memberi judul Capailah Bintang-Bintang di Langit (Tahun Berdikari). Bung Karno mencanangkan Trisakti Tavip: Berdaulat dalam bidang politik. Berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. 17 Agustus 1966 merupakan pidato terakhir Bung Karno pada upacara proklamasi kemerdekaan. Judulnya, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah yang dikenal dengan singkatan 'Jas Merah'.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement