Kamis 03 Dec 2015 07:00 WIB

Pintu Gerbang Meester Cornelis 1760-an

Suasana pintu gerbang Meester Cornelis tahun 1760-an (kini Jatinegara)
Foto: Perpustakaan Nasional
Suasana pintu gerbang Meester Cornelis tahun 1760-an (kini Jatinegara)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Lukisan perwira artileri VOC, Johannes Rach (1720-1783), menggambarkan suasana pintu gerbang Meester Cornelis (kini Jatinegara). Lokasinya kira-kira antara Jalan Jatinegara Barat dan Jalan Jatinegara Timur, Kelurahan Bali Mester.

Sang pelukis menggambarkan suasana pada pagi hari. Di samping dua pohon (kiri gambar), tampak pasar yang masih terbuat dari bambu dan beratapkan rumbia. Waktu itu, hari pasar jatuh pada tiap Kamis. Beberapa ibu (tidak tampak jelas) sedang sibuk melayani pembeli. Di dekatnya, terdapat sebuah jembatan bambu menuju pintu gerbang yang melewati Ciliwung.

Di gerbang, terdapat sebuah pos penjagaan. Beberapa militer berada di pos tersebut. Di dekatnya, terdapat beberapa rumah sederhana yang terbuat dari bambu dan bergenting atap. Di sebelah kanan, terdapat sebuah pedati sedang ditambat.

Kala itu, pedati ditarik seekor kerbau, selain kuda. Jatinegara pada dua setengah abad lalu berbeda dengan Jatinegara saat ini yang hiruk pikuk dan macet. Kala itu masih lengang. Pohon kelapa dan pohon-pohon besar lainnya tumbuh dengan subur di sekitar gerbang. Kini, daerah itu merupakan permukiman kumuh Pisangan Baru, Bekasi Barat, dan Kelurahan Rawa Bangke yang sebelumnya bernama Rawabangke.

Pada abad ke-20, para pedagang Cina banyak berjualan di Pasar Meester. Kini, masih dapat kita saksikan sebagian dari rumah-rumah mereka yang berciri seperti di negeri leluhurnya, dengan bagian atas genting lancip. Etnis Tionghoa banyak berdatangan ke Jatinegara dari Glodok setelah peristiwa kerusuhan 1740 yang menelan ribuan jiwa etnis ini. Jatinegara sendiri baru dinamakan demikian ketika Jepang pada 1942 merebutnya dari Belanda. Namun, nama Meester sampai kini tampaknya masih digunakan penduduk Jakarta, termasuk para pengemudi angkot.

Akan tetapi, mengapa dinamakan Meester Cornelis? Pada 1656, Meester Cornelis Senin (meninggal 1661) memperoleh hak menebang pohon di tepi Ciliwung (kini menjadi langganan banjir) yang ketika itu letaknya sekitar 15 km dari pusat kota di Jakarta Kota. Jarak sejauh ini ketika itu dianggap jauh di luar kota.

Daerah itu kemudian menjadi miliknya pada 1661. Meester Cornelis berasal dari keluarga kaya, dari Selomon, Pulau Lontar. Pada 1621, dia dibuang Gubernur Jenderal JP Coen ke Batavia. Di sini, dia menjadi pengkhutbah dan menjadi guru sekolah pribumi pertama. Sebagai guru, ia dipanggil meester. Pada 1672, tanah miliknya seluas lima km persegi antara Cipinang dan Ciliwung.

Untuk melindungi para penebang hutan dan tukang kebun terhadap gerilyawan Islam Mataram dari Banten, rumah-rumah mereka dikelilingi sebuah pagar (1656). Pada 1689, pagar sederhana diperkuat dengan pagar berduri yang menurunkan nama Kampung Bukitduri. Sampai awal 1970-an, di Bukit Duri, terdapat penjara wanita (kini pertokoan).

Kawasan hutan yang dibuka Meester Cornelis— Senen—lambat laun berkembang menjadi satelit Kota Batavia. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah oleh Pemerintah Hindia Belanda, dibentuklah pemerintah kotapraja (gemente) Meester Cornelis yang terpisah dari Batavia. Kemudian, baru 11 Januari 1936 gemeente Meester Cornelis digabung dengan Batavia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement