Senin 23 Nov 2015 07:00 WIB

100 Tahun Ratu Juliana

Bunga tulip di Den Haag.
Foto: Alwi Shahab/Republika
Bunga tulip di Den Haag.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Kunjungan saya ke Belanda pada pertengahan April 2009 memiliki dua keistimewaan. Ketika itu, menjelang musim panas saat bunga tulip telah mekar. Rupanya, bunga yang hanya terdapat

di negeri Kincir Angin ini mendapat perhatian para wisatawan mancanegara. Terlihat ratusan ribu orang membanjiri Keukenhof, sekitar 30 km dari Den Haag, dan merupakan perkebunan tulip terbesar di Belanda.

Pada 30 April 2009 rakyat Belanda merayakan pesta besar-besaran menyambut 100 tahun

lahirnya Ratu Juliana, ibunda Ratu Beatrix. Semua kantor dan sekolah diliburkan. Masyarakat berdagang di kaki lima tanpa dipungut pajak. Sedangkan, Ratu Beatrix dan putra mahkota Willem Alexander bergumul dan berdialog dengan rakyatnya di sebuah tempat dekat Amsterdam. Tidak terlihat adanya pengawalan ketat.

Ratu Juliana diangkat menjadi ratu pada 1948, menggantikan Ratu Wilhelmina. Nenek Ratu Beatrix ini dilahirkan pada 31 Agustus 1880 dan menjadi ratu pada 1898 sampai 1948. Hari kelahiran Ratu Wilhelmina diperingati secara besar-besaran juga di Hindia Belanda. Di Batavia, tiap Agustus diadakan keramaian berupa Pasar Gambir (kini Monas) yang kemudian dimunculkan kembali oleh Gubernur Ali Sadikan dalam bentuk Jakarta Fair (Pekan Raya Jakarta).

Nama Ratu Wilhelmina telah dijadikan nama taman, Wilhelmina Park, yang kini menjadi Masjid Istiqlal. Wilhelmina Park yang berada di daerah elite Harmoni, Rijswijk (kini Jalan Veteran dan sekitarnya), Noordwijk (Jalan Juanda dan Pintu Air), serta Pasar Baru merupakan tempat rekreasi terkenal kala itu dengan pepohonan rindangnya. Di sini juga terdapat benteng Belanda. Orang Betawi menyebut taman tersebut sebagai gedung taneh (tanah) karena konon di bawah benteng terdapat bungker yang dipercaya merupakan jalan tikus sampai ke Istana Weltevreden (kini Istana Negara dan Istana Merdeka).

Ketika menjajah nusantara, Belanda sangat getol memberi nama tempat dan jalan di Batavia dengan tokoh dan ratu mereka. Ketika Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard menikah pada 1937, jembatan gantung di muara Ciliwung (Pintu Besar) dinamakan Jembatan Julina-Bernhard. Jalan yang kini bernama Slamet Riyadi di Jakarta Timur mereka namakan Juliana Weg.

Selain diabadikan sebagai taman, Ratu Wilhelmina juga menjadi nama jalan Wilhelmina Laan yang kini menjadi Jalan Jusuf Adiwinata. Jalan Pertwira, kantor pusat Pertamina pada masa Belanda bernama Willem Laan, mengabadikan salah satu nama Raja Belanda. Jalan Sultan Agung di kawasan Manggarai ketika itu bernama Jan Pieterzoen Coenweg. Masih ratusan lagi nama jalan, tempat, dan gedung pertemuan di Jakarta bedrasal dari nama Belanda. Rumah Sakit DGI Cikini dulunya pernah menjadi bagian dari Yayasan Ratu Emma (ibu dari Wilhelmina).

Ketika Ratu Yuliana dan suaminya berkunjung ke Indonesia pada awal 1970-an, di Belanda ada yang mengusulkan agar Ratu atas nama kerajaan meminta maaf kepada Pemerintah Indonesia atas penindasan pada masa kolonial selama ratusan tahun. Seperti sistem tanam paksa yang diberlakukan sejak 1830 terhadap para petani di Jawa. Termasuk, kerja paksa (rodi) mengangkut dan mengolah gula di pabrik-pabrik, membuat jalan-jalan tanpa diberi upah dan imbalan.

Akibat sistem itu, pada 1884 di Cirebon terjadi kelaparan yang mengambil korban beribu-ribu orang. Penduduk Demak yang jumlahnya 336 ribu orang berkurang menjadi 120 ribu jiwa yang berarti mengambil korban 2/3 penduduk. Mengunjungi Den Haag, saya mendatangi tempat berlangsungnya Konferensi Meja Bundar di gedung tua yang masih anggun. Di sinilah delegasi Indonesia di bawah pimpinan Dr Mohammad Hatta mengadakan perundingan selama berhari-hari dengan PM Belanda Dress. Hasilnya adalah kesepakatan pembentukan negara RIS (Republik Indonesia Serikat). Penandatangan dilakukan pada 27 Desember 1949. Tapi, pemerintahan RIS di Indonesia hanya berlangsung beberapa bulan. Karena, rakyat Indonesia tidak setuju negaranya dibagi-bagi menjadi negara bagian.

Pemerintah Belanda sendiri tidak pernah mengakui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Mereka hanya mengakui 27 Desember 1949 sebagai penyerahan kedaulatan dari Belanda pada Indonesia. Masalahnya, kalau mereka mengakui proklamasi kemerdekaan, berarti Belanda harus membayar pampasan perang selama hampir lima tahun sejak mereka (NICA) kembali ke Indonesia pada September 1945 dengan membonceng pasukan sekutu

(Inggris). Pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun seja harus membayar pampasan perang, apalagi kedatangan NICA selama lima tahun.

Seperti dituturkan oleh Saleh Nahdi yang tinggal di Belanda sejak 1970-an, sebagai konsekuensi dari keputusan itu, mereka yang lahir sebelum Desember 1949 memperoleh kemudahan untuk mendapatkan paspor karena mereka dianggap penduduk Hindia Belanda. Ketika hubungan Indonesia-Belanda memburuk akibat masalah Irian Barat (kini Papua), banyak orang Indonesia yang pro-Belanda dengan mudahnya tinggal di Belanda.

Untuk pertama kali, pada perayaan resepsi hari ulang tahun kemerdekaan RI 17 Agustus 2008 di KBRI Den Haag dihadiri PM Belanda disertai empat menterinya. Jumlah orang Indonesia yang mempunyai izin tinggal di Belanda sekitar 60 ribu orang. Masih ada lagi yang tidak memiliki izin tinggal. Putri Mangkunegara VII, Raden Ajeng Nurul Kusuwardani, juga pernah ke Belanda dengan membawa rombongan penari dari Surakarta. Saya melihat gambar mereka di KITLV di Leiden, sekitar 15 km dari Den Haag.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement