Ahad 01 Nov 2015 07:00 WIB

Kapiten Souw Beng Kong

Makam Sow Beng Kong
Foto: flickr
Makam Sow Beng Kong

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Sekalipun sudah agak berlumut, tapi kata-kata berbahasa Belanda dan Cina di sebuah batu nisan itu masih jelas terbaca: menunjukkan di tempat inilah Souw Beng Kong, kapiten pertama masyarakat Cina di Batavia dimakamkan pada 1644. Tapi, untuk mencapai tempat ini kita harus rela untuk mau banyak bertanya. Karena, Jalan Taruna (dulunya Jl Souw Beng Kong) tempat makam itu berada, merupakan jalan sempit, tidak dapat dimasuki mobil bahkan juga becak. Letaknya di sebelah kiri Jl Pangeran Jayakarta, kurang lebih satu kilometer dari stasion KA Jakarta Kota.

Setelah masuk sejauh 75 meter di jalan sempit yang kumuh tersebut, kita masih harus berbelok-belok lagi untuk mencapainya. Makam kapiten Cina yang diangkat oleh Gubernur Jenderal JP Coen, Oktober 1619 ini, beberapa bulan setelah ia membangun Batavia, hanya tinggal batu nisannya yang tersisa. Karena seluruh bagian makam itu sudah menyatu dengan rumah penduduk. Bahkan, sebuah makam lainnya yang juga masih tersisa yang merupakan makam kerabat Souw Beng Kong, letaknya di tempat pembuangan limbah di sebuah rumah penduduk.

''Sampai pertengahan 1960'an, di tiga RT di kawasan ini seluruhnya tempat pemakaman orang-orang Cina,'' kata sejumlah orang tua di sini.

Kita sengaja mengangkat kapiten atau kaptoa Souw, karena ia bukan saja menjadi pemimpin pertama etnik Cina, tapi juga merupakan imigran awal etnis ini, yang datang ke Batavia pada awal pembangunan kota itu. Yang kini di Tanah Air jumlahnya mencapai tiga persen dari penduduk, yang hingga sekarang tetap dominan di bidang ekonomi dan perdagangan.

Apalagi, Presiden Abdurrahman Wahid baru saja mengeluarkan Kepres No.6/2000 yang membolehkan masyarakat Cina melakukan kegiatan keagamaan Khonghocu termasuk merayakan Imlek (tahun baru Cina). Setelah dilarang selama 33 tahun, dengan Inpres No. 14/1967.

Bengkong, demikian panggilan orang Belanda terhadap kapiten Cina ini, sebelumnya merupakan seorang saudagar di Banten. Di sinilah ia berteman dengan JP Coen, yang kemudian mengajaknya ke Batavia. Ia datang bersama pengikutnya yang tidak lebih dari 200 orang. Jumlah ini membengkak menjadi lebih tiga ribu jiwa dalam waktu 30 tahun.

Ia kemudian menjadi sangat kaya raya melalui perniagaan, pengapalan, konstruksi dan sejumlah perkebunan gula di sekitar Batavia, berkat kedekatannya dengan orang nomor satu di negeri jajahan ini.

Souw membangun sebuah wisma mewah dekat kastil (benteng) di Prinsenstraat, Pasar Ikan, yang saat itu merupakan pusat kota Batavia. Di tempat ini Coen sering mengunjunginya untuk minum teh dan membicarakan perdagangan. Coen sangat menyenangi orang Cina, yang dinilai rajin, tidak kenal lelah dan sangat trampil. Dan menganggap rendah pribumi, yang dikatakannya malas, tak mudah diatur dan tidak dapat dipercaya.

Dengan kekuasaan yang besar, kapten Souw Beng Kong dan para penggantinya di Batavia hidup laksana raja-raja Mandarin. Mereka menerima pajak yang dibayar oleh masyarakat Cina. Antaranya pajak jalinan rambut panjang, pajak kuku panjang (menandakan orang kaya yang santai), pajak judi dan candu. Etnis Cina memiliki rumah sakit yang tidak kalah besarnya dengan rumah sakit Belanda.

Untuk menambah jumlah mereka, mulanya para kapten kapal Belanda menculik para petani dan nelayan Cina untuk dibawa ke Batavia dan dilelang sebagai kuli kontrak. Tapi usaha ini tidak perlu diteruskan, karena kemudian para saudagar Cina sendiri membawa mereka dari Canton dan Amoy.

Masyarakat Cina, yang menurut sensus 1788 sebanyak 1.320 jiwa (dalam tembok kota) dan 32.508 jiwa (luar tembok), merupakan jumlah penduduk paling besar dibandingkan dengan suku-suku lain (pribumi tidak dihitung). Mereka tetap memelihara tradisi leluhurnya. Karena, menurut paham Konfusionisme seseorang dianggap puthauw atawa durhaka kalau tidak hormat pada leluhur. Ia harus uhauw atawa berbakti agar dikasihi dan

dilindungi thian (Tuhan).

Kaum Cina perantauan pada umumnya bangga menjadi ahli waris kebudayaan Cina. Hal ini tercermin dari pernyataan mantan PM Singapura Lee Kwan Yew : ''...... adalah Konfusionisme yang menjalin persatuan dalam keluarga, yang pada gilirannya membesarkan anak cucunya menjadi cendekiawan tangguh, tahan bantingan dalam menghadapi tantangan ...

.... kita adalah contoh hidup dari rakyat Cina, yang berkat ilham dari kebudayaan Cina, maka dapat berprestasi gemilang ..., demikian ujar Lee.

Sampai akhir abad ke-19 kebanyakan etnik Cina berasal dari provinsi Hokkian (Fujian) Cina Selatan. Tidak heran banyak para konglomerat keturunan Cina di Indonesia yang menanamkan modalnya di propinsi yang berdekatan dengan Hongkong itu.

Sedangkan keterlibatan etnis ini dalam politik bermula pada sebelum perang dunia II. Mereka ada yang berkiblat ke Cina (Sin Po Grup), berorientasi ke Belanda (Chung Hwa Hui) dan Indonesia, Partai Tionghoa Indonesia. (Leo Suryanata - Peranakan Chinese Politiecs in Java).

Setelah kemerdekaan (1954) didirikan Baperki yang kemudian berkembang menjadi organisasi massa yang menitik beratkan pada integrasi politik. Dan bukannya asimilasi.

Baperki, yang menuntut agar etnik Cina diakui sebagai suatu sukubangsa, kemudian condong ke kiri dipicu dengan eratnya hubungan RI-RRC. Hingga Ketua CC PKI Aidit sangat berang ketika keluarnya Peraturan Presiden (PP 10) 1959 yang melarang non pribumi (Cina) berdagang di pedesaan (tingkat kabupaten dan kecamatan). PP 10 untuk memperkecil peran Cina dibidang ekonomi dan melindungi pedagang pribumi. Akibat PP 10, ratusan ribu

orang Cina ingin pulang ke RRC. Tapi yang terangkut hanya ribuan orang, lainnya terkatung-katung.

Dalam melindungi pribumi, di masa Orla pernah dikeluarkan kebijaksaan 'sistem banteng'. Sayangnya, kemudian bermunculan perusahaan Ali-Baba. Si Ali hanya sebagai pemilik izin usaha, sedangkan si Baba-lah yang berkuasa dan menjalankannya. Sedangkan pada masa Orde Baru, setelah melarang Baperki karena terlibat G30S/PKI, semua organisasi Cina juga dilarang karena dinilai eksklusif. Juga dilakukan pembaruan, termasuk penggantian nama Cina.

Orba juga melarang berdirinya hektong (sekolah) Cina), yang sebelum 1958 berjumlah dua ribu buah. Bukan saja sekolah Cina di Indonesiasasikan, tapi juga perguruan tinggi. Seperti Ureca milik Bapoerki yang menjadi Universitas Trisakti. Demikian pula Universitas Tarumanegara. Tapi dipihak lain, pihak Cendana dan kroninya yang ber KKN mendekati para cukong atau taipan. Memberikan berbagai kemudahan dan fasilitas pada mereka. Hingga ketika Pak Harto lengser, sebagian besar rakyat tidak percaya kalau ia tidak memiliki banyak kekayaan, seperti sering dikatakannya.

Pada masa Orba, beberapa lembaga yang berhubungan dengan pemerintah seperti CSIS digunakan untuk menyalurkan aspirasi minoritas Cina. Menyebabkan istilahnya dilecehkan banyak orang, menjadi Cina Senang Indonesia Susah. Akibat kedekatan penguasa dengan para cukong Cina ini, 'Majalah Eksekutif' (Agustus 1995) memuat daftar 100 konglomerat Indonesia. Tercatat 79 Cina dan satu India. Sisanya 20 konglomerat adalah pribumi. Yang terakhir ini pun kebanyakan para kroni Cendana.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement