Ahad 25 Oct 2015 07:00 WIB

Misteri Kematian JP Coen

Jan P Coen
Foto: www.britannica.com
Jan P Coen

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Ada dua versi penyebab kematian Jan Pitercoon Coen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan pendiri kota Batavia, pada 20 September 1629 dalam usia 42 tahun. Versi pertama menyebutkan bahwa ia meninggal akibat serangan balatentara Mataram ke Batavia pada tahun 1929. Yang merupakan serangan kedua setelah serangan pertama pada 1628. 

Menurut Drs Candrian Attahiyat, (saat itu menjabat sebagai Kepala Seksi Arkeologi Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta), berdasarkan versi Babad Jawa ini, Coen meninggal akibat senjata balatentara Mataram. Kemudian kepalanya dibawa ke Mataram, dan dikuburkan di tangga Imogiri, makam raja-raja kesultanan Mataram. Sebagai simbolis bila orang hendak kepemakaman itu terlebih dulu menginjak kepala Coen.

Tentu saja, versi tersebut bertolak belakang dengan versi Belanda. Menurut sumber sejarah Belanda kematian Coen akibat penyakit kolera yang melanda Batavia waktu itu. Tiga hari setelah serangan Mataram.  Menurut versi Belanda ia dimakamkam di Balai Kota (kini Museum Sejarah DKI di Taman Fahillah) dan kemudian dipindahkan ke de Oude Hollandsche Kerk (Gereja Tua Belanda), yang kini menjadi Museum Wayang. Sejarawan Sugiman MD dalam buku ''Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi'' meyakini bahwa kematian Coen akibat serangan tentara Mataram. Menurut dia yang ditunjuk sebagai makam Coen sebenarnya bukan tempat makam jenazahnya dikebumikan. Tapi jenazah orang lain.

Sedangkan menurut Candrian, pada tahun 1939 telah dilakukan penggalian di makam Coen, untuk mencari jenazahnya. Tapi tidak ditemukan apa-apa. Meskipun pakar arkeologi ini lebih mempercayai versi Babad Jawa, tapi ia berpendapat untuk mencari kebenaran, perlu dilakukan penggalian jenazah berupa kepala Coen di Imogiri. ''Memang sejauh ini belum pernah ada penelitian arkeologi kebenaran Babad Jawa tentang terbunuhnya Coen.''

Seorang petugas di Museum Wayang yang terletak diseberang kiri Taman Fatahillah juga membenarkan adanya dua versi kematian gubernur jenderal pertama Hindia Belanda ini. Lalu ia menunjuk sebuah batu nisan besar yang ada ditembok bagian belakang museum. Huruf-huruf tebal ditembok itu menyebutkan di tempat inilah kita-kira Coen dimakamkan, berdekatan dengan makam para penggantinya.

Sulit dipercaya bahwa dihalaman dalam gedung yang anggun dan artistik di Jl Pintu Besar Utara hingga ke arah Jl Kalibesar Timur, yang selalu hiruk pikuk dulunya adalah sebuah pemakaman Belanda. Pemakaman ini ditutup menjelang akhir abad ke-18 (1795) karena sudah penuh. Pada abad ke-18 Batavia memang termashur sebagai Koningin van het Oosten -- Ratu dari Timur --. Tetapi ia juga mendapat reputasi buruk sebagai Graf der Hollanders -- Kuburan orang-orang Belanda --. Angka kematian waktu itu adalah 25 persen per tahun di antara orang Eropa. Ketika itu tidak seorang pun merasa heran bila mendengar teman dengan siapa ia kemarin makan malam akan dikubur esoknya.

Dengan penuhnya makam tersebut lalu dipindahkan ke Kebon Jahe Kober (Jakarta Pusat), yang ketika itu letaknya jauh di luar kota. Hingga jenazah harus diangkut dengan sampan atau perahu. Puluhan perahu dari pusat Kota membawa usungan jenazah melalui Kali Krukut yang kala itu dapat dilayari, merupakan pemandangan sehari-hari. Iringan perahu jenazah ini berhenti di Jalan Abdul Muis sekarang ini. Persis di belakang Departemen Penerangan yang sudah dilikwidasi oleh Gus Dur. Dari tepi kali yang dulu jernih dan dapat dilayari telah siap sebuah kereta jenazah untuk mengantarkannya ke pemakaman yang jaraknya sekitar 500 meter.

Pemakaman Belanda, Kebon Jahe Kebor di Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat yang dulunya bernama Kerkof Laan (Jl Kuburan). Makam ini ditutup pada 1975. Pada 1977 oleh Gubernur Ali Sadikin diresmikan jadi Museum Taman Prasasti. Di sini kita masih menjumpai sebuah kereta tua yang digunakan untuk mengangkut peti jenazah. Juga terdapat peti jenazah Bung Karno dan Bung Hatta, ketika kedua tokoh nasional ini wafat.

Jumlah prasasti yang terdapat di museum ini sekitar 1.324 buah, berupa batu nisan dari abad ke-17 (pindahan dari pemakaman di belakang Museum Wayang) sampai tahun 1960'an. Lokasi kuburan, menurut kebiasaan masa itu ditandai dengan sebidang granit raksasa yang dibubuhi ukiran lambang, nama, tanggal lahir dan mati serta tanda-tanda jasa yang bersangkutan.

Kalau Coen dikabarkan meninggal karena serangan prajurit Mataram, hal yang sama juga dialami Mayor Jenderal JHR Kohler. Pimpinan pasukan Belanda yang mengadakan penyerangan ke Aceh tanggal 8 April 1873, seminggu kemudian telah menjadi mayit. Ia tewas akibat perlawanan yang gigih dari pejuang Aceh. Prasasti makam asli JHR Kohler dan kerangkanya dikuburkan di Banda Aceh. Hanya duplikatnya yang ada di Museum Prasasti.

Seperti juga Coen dan Kohler, Mayor Jenderal AV Michiels (1797-1849), yang prasastinya terdapat di museum ini, adalah pemimpin pasukan Belanda. Ia ketika menyerang Kerajaan Buleleng, Karangasam dan Klungkung, Bali pada 25 Mei 1849. Pemerintah Belanda pernah mendirikan Monumen Michiels berdekatan dengan monumen Coen di Waterlooplein (Lapangan Banteng). Yang kemudian diruntuhkan pada masa pendudukan Jepang.

Di sini juga terdapat makam Olivia Marianne Raffles (1798-1841), istri gubernur jenderal Thomas Stamford Raffles. Ia meninggal di Buitenzorg (Bogor) dalam usia 43 tahun. Di Kebun Raya Bogor, Raffles, pendiri kota Singapura ini membangun tugu kenangan untuk istrinya, yang ikut mencetuskan pembangunan kebun raya itu. Diantara prasasti generasi kemudian terdapat Soe Hok Gie, pendiri Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) UI yang pada tahun 1969 mengalami kecelakaan dalam pendakiannya ke Gunung Semeru, Jatim akibat gas beracun. Meninggal dalam usia 27 tahun, Soe Hok Gie yang adik Arif Budiman selalu berada dibarisan depan dalam demo-demo menentang Orla. Di sini juga terdapat prasasti Mis Riboet (1900-1965), seorang tokoh panggung (sandiwara) yang terkenal sejak zaman Belanda. Dialah yang mendidik almarhum Teguh, pendiri Srimulat.

Tentu masih ada ratusan para tokoh yang pernah memainkan peran penting pada kota Jakarta ketika masih bernama Batavia. Bila saja kita berada di sini dan mau sedikit bersusah payah untuk mencermatinya, kita akan dapat menghidupkan kembali kejadian-kejadian di masa lalu. Hanya sayangnya, warga Jakarta yang terlalu sibuk dan tengah mengalami kesulitan ekonomi tidak tertarik untuk mendatangi tempat ini.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement