Senin 13 Mar 2017 04:16 WIB

Kala Bung Karno Memandang Peran Perempuan

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Indira Rezkisari
Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri memandang mural Bung Karno.
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri memandang mural Bung Karno.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Baru-baru ini, jagad internet cukup heboh dengan unggahan seorang artis. Ia menampilkan lukisan Presiden Sukarno yang sedang duduk di samping Ratna Sari Dewi, istrinya, yang berdiri tanpa busana.

Sebagai sebuah karya seni, wajar bila lukisan tersebut multitafsir. Lepas dari itu, sesungguhnya bagaimana Bung Karno sebagai pemimpin bangsa memandang peran kaum hawa?

Untuk menjawabnya, lebih tepat bila menelusuri tulisan sang proklamator sendiri. Salah satunya, 'Sarinah –Kewadjiban wanita dalam perdjoangan Republik Indonesia', buku karya Sukarno yang terbit pertama pada 1947. Dalam pengantar cetakan awal buku ini, Sukarno menjelaskan, Sarinah bermula dari materi pengajaran yang diadakannya kepada para tokoh perempuan di Yogyakarta, ibu kota RI zaman revolusi.

Adapun secara historis, Sarinah merupakan sosok perempuan pengasuh Sukarno di masa kanak-kanak. Begitu sayang dan mendalamnya kesan Sukarno terhadap Sarinah.

Bahkan, dalam autobiografinya Sukarno mengatakan “Dialah yang mengajarku mengenal kasih sayang. Sarinah mengajarku untuk mencintai rakyat. Rakyat kecil.”

Rasa cinta inilah yang membuat Sukarno acapkali mengabadikan nama Sarinah untuk karya-karya besarnya, termasuk buku ini. Dalam paragraf-paragraf awal buku Sarinah, Sukarno menceritakan tentang seorang sahabatnya yang guru di Bengkulu. Pria berpendidikan ini memiliki seorang istri yang begitu disayanginya. Sukarno akrab dengan pasangan suami-istri tersebut. Namun, ia menyayangkan sikap kolot.

“Sang suami di alam Bengkulu termasuk golongan ‘modern’, tetapi istrinya kadang-kadang mengeluh kepada saya, bahwa ia merasa dirinya terlalu dikurung,” tulis Sukarno.

Daya intelektual Sukarno berkelana ke literatur-literatur Barat. Ia mengutip antara lain Henriette Roland Holst, penyair perempuan Belanda kelahiran 1869.

Holst menilai, baik feminisme maupun neo-feminisme tidak mampu memberi solusi kepada situasi retak perempuan. Sebab, bagaimanapun sumber kebahagiaan perempuan adalah keluarga, bukan perusahaan tempatnya bekerja.

“Jiwa perempuan dahaga kepada kebahagiaan sebagai ibu dan istri, tetapi pri-kehidupan sebagai buruh tidak memberi waktu cukup kepadanya, untuk bertindak sempurna sebagai ibu dan istri. Pergerakan feminisme dan neo-feminisme ternyata tidak mampu menyembuhkan retak ini,” demikian Bung Karno.

Di sisi lain, Bung Karno melihat ekses feminisme di Eropa yang cenderung menyamaratakan laki-laki dan perempuan. Padahal, Tuhan menciptakan kodrat lelaki dan perempuan berbeda.

Bung Karno menilai, maksud feminisme yang mulanya baik, yaitu persamaan hak antara perempuan dan lelaki, telah melewati batas. Sebab, paham ini hendak mencari-cari persamaan dalam segala hal, mulai dari tingkah laku, cara hidup, cara berpakaian, dan sebagainya.

Karena itu, ia menegaskan agar Indonesia dibangun atas dasar sikap kritis terhadap paham-paham yang datang dari luar. “Janganlah tergesa-gesa meniru cara modern atau cara Eropa, janganlah juga terikat oleh rasa konservatif atau rasa sempit, tetapi cocokkanlah semua dengan kodratnya,” tulis Sukarno mengulangi kata-kata Ki Hadjar Dewantara.

Secara garis besar, Bung Karno memandang pernikahan sebagai momentum kunci kebahagiaan. Tidak hanya bagi perempuan melainkan juga lelaki.

Keluarga adalah lingkup terkecil masyarakat. Untuk mewujudkan Indonesia yang berkeadilan sosial, keluarga pertama-tama harus dikuatkan.

Dalam buku setebal 329 halaman ini, Bung Karno membedakan antara feminisme yang cenderung borjuis dan sosialis. Yang didambakannya adalah sosialisme karena dinilai mampu menjadi jalan menuju keadilan sosial.

“Aksi wanita feminis berjalan melawan laki-laki. Aksi wanita sosialis berjalan bersama-sama dengan laki-laki,” tulis Bung Karno.

Ia kemudian merangkum perjalanan pergerakan-pergerakan wanita sejak zaman Revolusi Perancis sampai era Perang Dunia II. Dalam fase pertama, pergerakan-pergerakan itu bertujuan menyempurnakan sisi keperempuanan. Fokusnya adalah soal domestik, semisal memasak, berhias, memelihara anak, dan sebagainya.

Fase kedua, tujuan perjuangannya adalah persamaan hak legal terhadap kaum pria. Fokusnya dalam berbagai bidang, yakni pekerjaan, akses pendidikan, dan hak untuk memilih (voting) serta hak keterwakilan dalam demokrasi. Menurut Bung Karno, visi feminis ini sering dinamakan “emansipasi wanita” namun aksinya bersifat menentang kepada kaum lelaki.

Fase ketiga merupakan pergerakan sosialisme. Tahap ini merupakan “jawaban” dari kalangan wanita kelas bawah terhadap feminisme kelas atas.

Menurut Bung Karno, kaum wanita rakyat jelata enggan akan feminisme. Alih-alih, mereka kemudian membuat pergerakan sendiri, yang tidak merasa perlu untuk bertentangan dengan kaum pria.

Bahkan, pergerakan wanita kelas bawah mencurigai feminisme kelas atas, khususnya terkait perjuangan hak keterwakilan. Sebab, itu ditengarai semata-mata bertujuan menambah jumlah legislator dari kalangan elite, hanya berbeda ihwal jenis kelamin.

“Bahwa kaum feminis dan suffragette itu menganggap hak-perwakilan sebagai tujuan yang terakhir, sedangkan wanita sosialis menganggapnya hanya sebagai salah satu alat semata-mata di dalam perjuangan menuju pergaulan hidup baru yang berkesejahteraan sosial,” demikian tulis Bung Karno.

Bagi kaum sosialis, lawannya adalah ketertindasan di bidang ekonomi dan politik. Karena itu, pergerakan wanita sosialis menolak mempertentangkan antara dunia kerja dan ranah domestik. Alih-alih, menurut Bung Karno, mereka melakukan sintesis terhadap keduanya.

Sebab, lanjut Bung Karno, perempuan sosialis mampu dan harus mendapatkan pekerjaan di ruang publik sekaligus tidak kehilangan rasa keibuan dan cinta.

Memilih peran ibu/istri sambil melepaskan pekerjaan publik berarti membuat kandas perjuangan pergerakan beratus-ratus tahun. Demikian pula. Memilih pekerjaan sambil melepaskan cinta/rasa keibuan adalah menafikan panggilan kodrati.

Di fase ketiga ini, kaum perempuan dan laki-laki sama-sama berjuang serta bahu-membahu. Tujuannya agar masyarakat seluruhnya merdeka dari ketertindasan munuju kebahagiaan hidup. Inilah visi Bung Karno.

“Buat apa saya dengan susah payah menjelaskan kepada kaum wanita bahwa hanya dalam masyarakat sosialisme-lah mereka dapat mencapai kemerdekaan dan kebahagiaan yang sempurna?” tanya Sukarno retoris.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement